Rabu, 20 Juni 2012

Dunia Sandiwara dalam Masyarakat Opera Sabun

— Kita hidup di dunia haha-hihi

Tiap datang di pementasan teater, saya selalu tertarik dengan penonton. Sekadar nyolong pandangan ke arah mbak-mbak ayu lewat ekor mata,  atau diusik suara ketawa-ketiwi yang tak perlu dari mereka. Menarik, bukan? Sesuatu yang menyebalkan toh juga bisa menarik.

Apa yang menarik dari suatu tawa yang tak perlu? Misal dalam Tumpas Kelor yang dipentaskan Teater Dipo di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), 4 Juni lalu. Lakon karya Mulyani M Noor ini berkisah tentang idealisme sebuah keluarga menghadapi kediktatoran penguasa. Keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak perempuan itu menolak tunduk dan melawan dengan caranya masing-masing, meski akhirnya salah seorang anak diperkosa oleh anak buah sang penguasa.

Singkat cerita, untuk “memperhalus” adegan pemerkosaan, sutradara menyelipkan “humor” melalui dua tokoh pemerkosa: kemudian tawa-bahak penonton menggelegar. Seolah itu cerita lucu. Tentu ada yang tak tertawa, seperti saya. Tapi suara kami tak terdengar. Saya menduga—dan semoga benar—sutradara tak bermaksud membuat babak pemerkosaan menjadi sesuatu yang lucu, gerombolan penonton yang tertawa itulah yang sakit jiwa. Sebab bagi gerombolan ini, benak mereka sudah terlalu dimanja-tumpulkan dengan tayangan televisi semacam Opera van Java dan sinetron-sinetron opera sabun yang ber-season-season­ ituyang bahkan Tuhan pun tak tahu kapan selesainya. Masyakarat kita adalah masyarakat yang haus tontonan.

Buat saya ini ironi. Pentas teater menghadirkan kisah tragik untuk menggugah rasa kemanusiaan penontonnya, mengasah kepekaan batin sebagai manusia. Namun orang menganggap itu lucu. Saya kira kuping mereka sudah pekak karena suara keras iklan di televisi.

Televisi dan Realitas
Modernitas punya kotak pandora dalam wujudnya yang paling canggih: televisi. Lewat layar kaca ini, segala bentuk berita politik, gosip, drama korea, sinetron, acara keagamaan, film Hollywood, reality show, talk show, dan show-show lainnya dikemas dalam tontonan yang menghibur. Tidak ada kedalaman makna yang dapat diperoleh dari televisi.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Jean Baudrillard melalui tesisnya tentang simulasi dan hiperrealitas, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekadar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut antara yang imitasi dengan yang asli.

Segala macam tayangan televisi bukanlah refleksi atas realitas kehidupan, namun sebaliknya, televisi-lah yang mengkonstruksi realitas kehidupan. Sehingga manusia, sebagai makhluk konsumer yang lemah dan tak berdaya, karena ketidakberdayaannya menekan kerakusan, turut hanyut dalam masyarakat opera sabun—yang tanpa kita pernah tahu ujung ceritanya di mana. Hidup sebatas menjadi representasi season-season lanjutan serial Cinta Fitri.

***

Kerena itu saya bingung ketika orang bicara mengenai realitas, jika mereka sendiri tak pernah sadar apa itu realitas. 

Selasa, 19 Juni 2012

Refleksi: 3

Sepahit kopi: demikian kehidupan. Banyak hal yang membuatku lupa akan wanginya: Seolah kopi hanya ditakdirkan untuk menjadi pahit. Memang, menikmati hidup, ternyata tak bisa hanya mengandalkan satu indra, atau bahkan dengan segenap indra. Ada intuisi halus yang menjadikan nikmat kopi sebagai perasaan terberi.

Wangi-kah kopi pahitmu, Manis?

Penyambutan

Salam segala salam,

Pada cuaca yang tak tentu seperti sekarang, saya harap konco-konco sekalian dalam keadaan sehat-sejahtera dan melimpah rizki. Amin.


Ngobrol-ngobrol tentang cuaca yang plin-plankadang panas, kadang dinginmirip anak gadis yang mulai beranjak dewasa: labil dan mudah merajuk, saya kok ndak habis pikir kala warga di lingkungan tempat saya kos menebangi pohon saat kerja bakti kemarin. Ya, bukannya apa-apa, soalnya salah satu pohon itu termasuk pohon rindang yang cukup banyak mereduksi panas matahari. Letaknya pun strategis, tepat di samping kosan. Wah, lha kalau ditebang bisa mengancam kelancaran tidur siang ini nanti. Secara, siang di Semarang itu panasnya ndak ketulungan, apalagi kalau penolong satu-satunya mau ditebang.


Usut punya usut, ternyata pak walikota akan rawuh ke masjid samping kosan untuk peletakan batu pertama renovasi tahap kedua, Selasa nanti. Karena itu lingkungan harus ditata sedemikian rupa agar tampak bersih, rapi, dan sedap dipandang. Termasuk "merapikan" pohon-pohon yang dirasa mengganggu pemandangan dan mengurangi kerapian. Saya cuma bisa gedeg-gedeg kepala. Ya, beginilah pemikiran orang Indonesia, kalau dirasa mengganggu ya langsung dimatikan saja. "Diamankan" istilah orde barunya, "dibina" kalau istilah pak kades timbangan.


Terlepas dari kekecewaan atas pohon yang ditebang, sungguh saya kagum kepada bapak-bapak yang dengan gigih bekerja bakti membersihkan lingkungan. Bagaimana tidak, pagi-pagi benar mereka sudah menguras got, memotong rumput, menebang pohon, gotong royong iuran bikin spanduk penyambutan, dan tidak lupa memasang bendera dan umbul-umbul beragam warna. Semua dirias dan dipoles agar tampak cantik. Agar nanti saat pak wali datang, beliau merasa nyaman ada di lingkungan ini.


Memberi yang terbaik untuk pemimpin atau penguasa ternyata sudah menjadi budaya kita sejak lama. Semacam kearifan lokal. Syahdan, jaman dahulu kala banyak orang tua mempersembahkan anak perawannya untuk dipinang raja. Dan kalau paduka raja berkenan, itu merupakan penghargaan yang tak ternilai bagi orang tua. Prinsipnya: Memberi yang terbaik dari apa yang mampu kita berikan untuk penguasa. Karena kita menganggap penguasa itu titipan Tuhan. Pun juga di era demokrasi sekarang ini, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sedangkan para pemimpin itu terpilih dari suara rakyat, suara Tuhan. Jadi mereka itu juga titipan Tuhan. Kedatangan mereka pun jadi berkah. . Bukan begitu, Konco-konco(?)


Oh iya, saya teringat satu atau dua tahun lalu, ketika pak Yudhoyono sedang dalam perjalanan ke Surabaya (atau ke mana saya lupa) dan mau tak mau harus lewat madiun. Ring road itu, jalan lingkar Madiun, yang biasanya penuh lubang, langsung di-"cling" jadi halus seketika. Sepanjang jalan berjajar para siswa sekolah dengan bendera merah-putih plastik. Mereka harus rela berpanas-ria selama hampir dua jam untuk menyambut rombongan kepresidenan lewat. Tapi tenang saja, siswa-siswi yang diikutkan itu adalah mereka dengan kadar gizi lebih, jadi ndak bakal semaput. Yang kurang gizi ya musti perlu "dibina" dulu. Kan ingin menunjukkan yang terbaik?


Sebenarnya baik sekali kalau ingin menyambut pemimpin kita seperti dua contoh di atas. Tapi mbok ya jangan segitunya (pakai tebang pohon segala). Kan mereka itu datang untuk melihat kondisi warganya juga. Lha kok malah ditutup-tutupi dan dibaik-baikkan. Jadi, ya bukan salah mereka juga kalau sampai ndak tahu kondisi jiwa dan raga rakyatnya. Eh, siapa tahu kalau bapak-bapak dan ibu-ibu pemimpin malah terenyuh dengan kondisi lingkungan masyarakat yang sesungguhnya; dan akhirnya termotivasi untuk bekerja dengan keras demi meningkatkan harkat dan martabat rakyatnya. Tunjukkan saja apa adanya sebagaimana kondisi sebenar-benarnya. Rapi, tentu harus, tapi ndak usah dilebih-lebihkan. Lha wong tidak dinilai juga kan. Kalau ada penilaian akreditasi dari BAN-PT itu baru boleh dilebih-lebihkan. Bukan begitu, Konco-konco(?)


Sudah dulu, kepareng. Saya mau tidur sore, berhubung tidur siang sudah tidak lagi dimungkinkan.

Tabik.


[Pleburan, 15 Maret 2011, pkl. 16.03 WIB]

Pagi, di balkon kosan

Rabu, 30 Mei 2012

Ke Mana Bunga-bunga Pergi?

Malam ini, Joan Baez, sayup-sayup menyanyi lagu Pete Seeger lewat pemutar musik di komputer kerja:

Where have all the flowers gone?
Young girls have picked them every one;
Where have all  the young girls gone?
Taken husbans every one;
Where have all the young men gone?
Gone for soldiers every one;
Where have all the soldiers gone?
Gone to graveyards every one;
Where have all the graveyards gone?
Covered with flowers every one.

When will we ever learn?
When will we ever learn?

Dunia memang sudah tak semuram tahun 1965, di mana "Where Have All The Flowers Gone" dinyanyikan ulang oleh Joan Baez untuk menentang Perang Vietnam. Namun, apakah dunia jadi lebih rasional? Sepertinya tidak. Dunia malah semakin didorong dalam kekacauan irasionalisme.

Gaung rasionalisme meledak pada abad ke-19 dengan positivisme Hukum Tiga Tahap Auguste Comte sebagai panglima. Masa ini menjadi abad saintisme: Kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan kemajuan (teknologi) mencapai puncaknya.Manusia, optimis akan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelamatkan dunia, untuk menciptakan kebahagiaan. Abad ke-20, nampaknya nada optimisme abad ke-19 mengalami perubahan cuaca, menjadi "optimisme seakan-akan" yang lebih mirip pesimisme. Perang Dunia I dan II, Fasisme, Perang Vietnam, Perang Teluk, krisis nuklir yang mengancam dunia pada kehancuran atomar, kerusakan lingkungan hidup, dll: Bagaimana manusia yang menganggap diri berada di puncak peradaban dapat terlibat dalam irasionalitas semacam itu? Perusakan lingkungan hidup telah menelanjangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang justru kelihatan akan membawa kehancuran dunia tanpa perang sekalipun. Semua itu membuat umat manusia modern pada hakikatnya merasa pesimis. Yang sebagai reaksinya, menurut Franz Magnis-Suseno, manusia kemudian melarutkan diri dalam konsumerisme yang seakan-akan sesudah segala rencana besar untuk memperbaiki dunia gagal ia dapat menyerah takluk pada hukum pasar saja.

Sains dan teknologi dipacu pesat untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan tentu saja, melalui mekanisme pasar. Gunung dijebol dan hutan dibalik untuk diambil isinya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak dijalankan dengan basis pengembangan keilmuan, namun sebatas "media profesi" pelatihan ketrampilan dengan tujuan "siap kerja". Binatang pun dipecah antara "hewan" dan "ternak". Semua pembenaran disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan kebahagiaan umat manusia -- yang ironisnya arti "kebahagiaan" itu sendiri justru dilupakan.

Sekarang ini, abad ke-21, adalah abad penuh imbas. Terbatas pada hal lingkungan hidup saja kita semakin dicekam ketakutan. Tak heran jika film Wall-E bukan dianggap sebagai paranoia, namun refleksi visioner terhadap realitas yang dihadapi. Bukti yang tampak nyata: Di masa kegilaan ini kita hanya dapat menikmati keindahan bunga dari "selembar" foto.

Maka sayup terdengar suara Joan Baez dalam fail digital:

When will we ever learn?
When will we ever learn?  

Photo by Sandy Asmara. Taken at Kalimati, Gn. Semeru.


Senin, 28 Mei 2012

[Photo] Tiga Tanjakan Gunung Semeru


Entah dari mana dia beroleh nama, setidaknya ada tiga tanjakan populer di Semeru:

1. Tanjakan Cinta, Ranu Kumbolo

Photo by Wahyu Muktiono


















2. Tanjakan Rossa (Tega), Arcopodo

Photo by Pundy Saputro


















3. Tanjakan Afgan (Sadis), Mahameru

Photo by Yoga (Mbahe)

Photo by Pundy Saputro


















:))

(Gn. Semeru, dalam "Pendakian Gembira dan Bijaksana", 17-20 Mei 2012)

Hitam

Tiba-tiba dia menyentak kepadaku, "Lihat pendulum ini!"
Sementara jarum berkejaran dengan perut yang lapar, hati sudah berkeras..
Kutantang hei kau, Malam!
Proses dan kualitas adalah yang terpenting. Biarkan waktu menunggu dan jumlah mengalah.

Kurasakan perlahan merayapi buku-buku jemari.
Cangkir itu telah mendingin, hilang juga uap yang mengiringi aroma menyegarkan..
Tinggal seperempat bagian, akan kuhajar dengan sekali teguk.

Sekilas terlihat di dasar ada ampas yang pernah mencair..
Kutekan dengan ujung jari, bulir-bulir amat halus mulai menempel.
Kubawa jemari ke muka wajah..
Tampak begitu halus, sama sekali tidak bergumpal.
Pekat sehitamnya jelaga tanpa warna lain menggeliat..

Masih tetap kupandang ampas hitam ini..
Sejulur sesuatu membayang kepadanya, kian lama kian jelas.
Sejarah hitam ampas pun bicara..
Bagaimana jutaan moyangku tumpas karena si hitam ini
Bagaimana ratusan tahun tanah airku diperas karena si hitam ini
Bukan racun..tapi cukup untuk bikin goblok raja-diraja negeri ini

Dadaku sesak..
Sesaat kualihkan pandangan ke seberang jendela

Nampak dedaunan hijau berkilau terkena bekas hujan..
Aromanya yang khas mulai merasuki kepala.
Seperti diperintah..
kusentuhkan butiran ampas yang masih menempel di jemari ke ujung lidah.
Seketika terasa..Pahit! Ya, aku yakin ini pahit!

Dia yang manis pernah berkata:
Hidup ini seperti kopi, pahit!
Tidak perlu pemanis untuk menipu diri..
Sambil menikmati, biarkan pahitnya menghilang di pangkal lidah.
Proses dan kualitas adalah yang terpenting. Biarkan waktu menunggu dan jumlah mengalah.

Kopi Hitam-Pahit

Rabu, 04 April 2012

Sejarah Ilmu Hukum: Dinamika Perkembangan Konsep-Konsep

Ubi societas, ibi ius – di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Dalam pengertian bahasa latin tersebut, menunjukkan bahwasanya kala manusia memulai interaksinya dengan sesama, pada saat itu pula hukum hadir. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Namun di sisi lain, manusia juga merupakan homini lupus – serigala bagi sesamanya. Karenanya, untuk itu manusia membutuhkan hukum dalam rangka menciptakan ketertiban dalam lalu-lintas interaksi bermasyarakat.
Sejarah hukum adalah sejarah panjang peradaban umat manusia. Pada konteksnya, hukum bukan merupakan skema yang final (not a final scheme). Perlahan-lahan hukum mewujud berubah bentuk seiring dengan perkembangan pikir dan tata laku sosial masyarakat. 

Konsep Hukum sebagai Nilai
Penerimaan hukum dalam konsep ini berasal dari adanya anggapan bahwa alam ide memiliki posisi sebagai sumber kebenaran. Teori hukum di sini mendasarkan pada kebenaran kodrati yang melekat sebagai kodrat manusia. Hukum hanya dirumuskan wujudnya melalui kontemplasi, sehingga bukan sengaja diciptakan manusia untuk menjadi hukum dalam artian peraturan-peraturan. Indra manusia hanya berfungsi mengkatalisasi atau membangkitkan pengetahuan kebenaran yang eksis dalam alam ide.[1]
Cicero menyatakan pendapatnya mengenai  hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar sesuai dengan alam; ia (hukum) bisa diterapkan di manapun, tidak berubah dan abadi. Begitu juga Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya. Oleh karena itu dunia ini diatur oleh tatanan ketuhanan, seluruh masyarakat di dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi yang diserap manusia sebagai nilai-nilai kehidupan.[2]
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[3]
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu. Salah satu pemikiran utama dalam hukum yang sudah berjalan sejak berabad-abad lalu, adalah untuk memahami arti dari keadilan. Pemikiraan ini membahas apa saja yang menjadi tuntutan dari nilai tersebut dan apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum untuk mewujudkan nilai itu.[4]
Nilai, sebagaimana telah dibahas di muka melalui beberapa pemikiran filosof, merupakan pegangan kodrati manusia tertinggi tentang apa yang dianggap pedoman hidup.

Konsep Hukum sebagai Peraturan
Seiring perkembangan tata pemerintahan dan laku sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dari masyarakat sederhana seperti polis di Yunani yang kemudian terbentuk pula ragam negara-negara pasca-tradisional, ternyata pandangan mengenai “hukum sebagai nilai” tidak cukup untuk mengakomodasi interaksi manusia yang semakin kopleks.
Pemikiran Trias Politika yang pertama kali dilontarkan John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam konsep pemerintahan negara pasca-tradisional Eropa, setidaknya memberikan pengaruh dalam perkembangan hukum modern. Salah satu ciri yang memberikan corak warna hukum modern, bahwa hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5] Yang di mana intrumen hukum tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif.
Menurut asal-usulnya, konsep hukum sebagai peraturan yang pada awalnya diwakili oleh teori hukum murni. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter.[6] Teori Hukum Murni ini lazim dikaitkan pada Mahzab Wina yang dipimpin oleh Hans Kelsen (1881 – 1973).
Teori hukum murni tumbuh berkembang seiring dengan kemajuan aliran positivisme dalam ilmu pengetahuan. Positivisme yang dirintis Auguste  Comte (1798 – 1857) adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan subjektif.[7] Munculnya positivisme dalam ilmu pengetahuan, sangat mempengaruhi perkembangan teori ilmu hukum. Dalam hal ini, teori hukum tidak statis begitu saja mengikuti arus positivisme, namun juga memunculkan gejolak dan kritik terhadap positivisme. Teori hukum terus bergerak mencari bentuk. Hingga kini, setidaknya, aliran hukum dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian:[8]

1.   Ortodhox Jurisprudence
Kajian ini melihat hukum sebagai paraturan yang bebas nilai. Hukum dilihat sebagai sesuatu yang given, bebas dari unsur-unsur seperti politik, kultural, dan ekonomi. Hukum dipandang sebatas peraturan-peraturan perundangan yang logis dan sistematis. Pengaruh positivisme sangat ketara pada kajian ini. Ajaran ini menempatkan kepastian dan ajaran hukum doktrinal sebagai nafasnya. Tokoh pemikir mazhab hukum ini antara lain John Austin, H.L.A. Hart, dan Hans Kelsen.

2.   Sociological Jurisprudence
Merupakan kritik terhadap ajaran orthodox. Sociological Jurisprudence termasuk dalam aliran pos-positivisme. Hukum dipandang tidak sekadar peraturan hukum tertulis dalam perundangan, tetapi juga termasuk hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat (the living law). Mazhab ini melahirkan aliran legal realism dengan kredo yang terkenal: “The law isn’t logic, but experience.”

3.   Socio-Legal Studies
Membagi hukum ke dalam dua kategori: pertama, hukum sebagai aturan atau norma-norma; kedua, hukum sebagai kenyataan perilaku masyarakat. Socio-legal studies diperlukan untuk melakukan kritik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah sudah sesuai atau belum dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pada kajian ini teori-teori sosial banyak digunakan sebagai landasan kritik terhadap peraturan yang bersifat normatif.

4.   Sociology of  Law
Merupakan cabang ilmu dari sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum.[9] Sehingga sosiologi hukum hanya berusaha menjelaskan fenomena hukum dalam masyarakat, bagaimana bekerjannya hukum, mengapa masyarakat menjalankan atau tidak menjalankan hukum.[]


[1] Disarikan dari Prof.  H. Yusriyadi dalam bahan kuliah Filsafat dan Teori Hukum MIH Undip.
[2] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 270.
[3] Ibid, hlm. 6.
[4] Loc. Cit.
[5] Ibid, hlm. 214.
[6] Allen, dalam: Ibid, hlm. 278.
[7] Sulistyowati Irianto dan Sidharta (ed.), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Reflesi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 5.
[8] Disarikan dari Prof. Suteki dalam bahan kuliah Metode Penelitian Hukum MIH Undip.
[9] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.

Sabtu, 31 Maret 2012

Sudah Tiba Malam Menghilang

Jelang malam menghilang..

Dalam laku dan juga waktu,
kita selalu bertentang.


Kau bukanlah aji yang aku sembah.


Padamu aku telah hilang,
padaku kau adalah pedang.


Tapi sebelum tikammu menembus dada,
sungguh jantung ini sudah hancur berkeping.


Sepanjang laju laku dan juga waktu yang kita pacu,
aku dan kau adalah malam yang hilang dalam perjumpaan



Rabu, 28 Maret 2012

Dicari: Jati Diri

Ada sebagian dari kita mungkin  punya cara pandang, perilaku, tutur, maupun gaya hidup yang sangat berbeda. Konsekuesi logis buat orang seperti ini adalah terlihat aneh. Dalam dua ekstrem yang saling berkebalikan, aneh pertama berarti keren. Namun, pada ekstrem yang sebaliknya, orang seperti itu konyol.

Bilapun mau jujur, ada kecenderungan dari kita untuk berperilaku sesuai dengan apa yang lazim orang kebanyakan lakukan. Memakan apa yang orang lain makan, menggunakan apa yang kebanyakan orang lain gunakan.

Kita dipaksa takut untuk "aneh" dan berbeda. Hal inilah yang lumayan menjelaskan, mengapa akhirnya demam (tren) merupakan suatu perlombaan.

Orang per orang enggan ketinggalan akan sesuatu yang bernama demam (tren). Kita tak ubahnya sekawanan itik yang berbondong berarak menuju sesuatu, yang (parahnya) tak pernah kita tahu mau ke mana.

Demam merupakan suatu gejala sosial di mana kita dipaksa untuk turut dalam suatu pola hidup yang sama. Pemenang adalah dia yang terdepan dalam memaknai demam itu sendiri.

Sebuah tren datang dan pergi. Ada satu era di mana rambut gondrong dan celana gombrong jaya. Pernah pula ada satu masa di mana gaya itu jadi basi. Pula ada satu masa di mana gelang karet warna menjadi demam, tentu datang juga masa di mana hal itu surut dan sekadar menjadi biasa.

Faktanya, orang muda seperti kita merupakan korban demam yang akut. Kita adalah yang paling takut akan yang namanya basi dan ketinggalan. Bila kita tidak larutkan diri dan serta, rasanya seisi dunia akan tertawa, mengejek, dan mencerca.

Kesertaan kita dalam jamaah akbar bernama umat pengikut tren, seolah merupakan suatu keharusan. Tanpa menjadi trendi, seakan eksistensi masa muda menjadi hampa. Tak bermakna dan sia-sia.

Kalau kita sedia meluangkan waktu, sejenak lebih izinkan kecerdasan diri tampil. Mungkin ada dari sebagian kita yang sampai juga pada tanya, kenapa masyarakat konsumen seperti kita, adalah tak lebih dari gerombolan hewan ekonomi yang buta?

Kita digiring dan diarahkan untuk menuju sesuatu, yang sialnya tak pernah kita tahu arahnya.

Sambil kita tahu demam adalah sebuah karya agung insan industrialis, seraya itulah kita menyerah takluk padanya.

Tapi hidup cuma sekadar pilihan. Tinggal jadi cundang ataukah pemenang, itu saja. Pemenang yang mengalirkan zaman, sedang cundang yang membudak pada zaman. Sekadar tut ilining banyu, hanyut dan tak punya kendali.

Yang manakah Anda?[]

n.b. Lihat Pinus&Pinus

"Think Globally, Act Locally!" (say YES to INDONESIA)

Ada yang begitu memantik benak saya pada satu malam di Madiun. Tepatnya saat nonton bola di TV barengan teman.

"Van Persie yang Arsenal itu negara asalnya mana, sih?" Seorang karib melontar tanya.

Lepas dari perkara bagaimana seorang bayi lahir beroleh nama, tiap daerah pasti punya budaya tersendiri untuk mengambil sesuatu buat dijadikan nama. Acapkali menggunakan bahasa, istilah, atau nama-nama umum dari kultur setempat.

Dengan mudah kita tahu seorang Dian Sastro, Tommy Cokro, Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang keturunan jawa. Sama seperti Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dapat gampang terdeteksi kebatakannya lewat atribut marga mereka.

Di masyarakat modern barat, ternyata akan ditemui pula penggunaan nama lokal yang sangat khas. Paolo, Roberto, Fabio, terdengar sangat Italia di kuping kita. Michael, Robert, dan Wayne sangat terasa anglo saxon-nya. Ibrahimovic, Stankovic, juga akan mudah ditebak keeropaan-timurnya.

Maka kembali ke awal buka, Van Persie tentu juga akhirnya dengan mudah dikenali sebagai seorang meneer Belanda. Tak lain karena partikel "Van"-nya itu tadi.

Pun dengan Hidetoshi Nakata yang dari Jepang. Juga Park Ji Sung, yang medhok Koreanya. Terasa sangat oriental, sangat Asia.

Di kajian antropologi, dikenal istilah totemism, yakni pandangan tentang hubungan yang sangat personal antara individu dalam masyarakat "primitif" dengan binatang, benda-benda, atau tumbuhan tertentu di sekitarnya.

Lebih lanjut akan mudah bagi kita untuk menemukan nama-nama berbau agraris di pedesaan Jawa. Katakanlah tukhul (tumbuh, semi), tunggak (sisa batang kayu yang masih tertanam usai tebang), rinjing (wadah khas pedesaan).

Sebutan hewan ternak semacam gudel (anak kerbau), pedhet (anak sapi), dan lembu juga serupa. Akrab kita jumpai sebagai nama diri di masyarakat petani jawa.

Beranjak dari pemahaman itu, nama-nama seperti tukhul atau lembu lebih dari sekadar khas jawa. Sangat detil dan spesifik untuk lebih mengidentifikasi latar belakang sosial ekonomi keluarga.

Adakala nama-nama yang cenderung kita katakan khas di suatu daerah terasa sangat ndeso. Sangat kampungan dan (maaf) kurang gaul. Utamanya yang cenderung totemism.

Adalah suatu ironi, bilamana seseorang merasa keberatan dengan nama lahirnya gara-gara alasan minder atau malu. Merasa nama yang disandangnya jelek dan terbelakang.

Lepas dari motivasi maupun latar belakangnya. Nama merupakan sebuah doa, sebuah harapan orang tua kepada nandanya.


Khas, Unik, dan Berkarakter
Kekurang-gaulan dan ke-ndeso-an nama kadang jadi masalah yang sangat serius buat orang muda. Rupa-rupanya melokalkan diri kian dipandang sebagai jalan mundur dan tidak berwawasan.

Bila merupakan sebuah menifestasi rasa minder, anti lokal sangat berbahaya. Perasaan rendah diri dan tertinggal sangat beracun dan menjebak. Minder itu seringkali berarti miskin, kriminil, juga kontra-produtif. Minder adalah asal dari segala kemunduran bermula.

Ikatan batin dengan alam dan orang tua merupakan sebuah tali. Seseorang yang tidak bisa diidentifikasi asal-usulnya, sesungguhnya sangat aneh dan hina. Lebih anaeh lagi berbondong orang berganti nama, hanya demi alasan untuk lebih OKE. Lebih barat, lebih gaul, lebih gaya. Lebih MODERN.
 
Penyakit minder dan seluruh turunannya ialah sindrom negara berkembang yang akut. Sadar tak sadar berangsur orang takut (atau malu) melokalkan diri. Epidemi keminderan adalah jawaban lugas kenapa satu negara bisa maju, sedang di negara lain tidak.

Bagi orang muda tanpa isi kepala, paspor ke dunia gaul seolah hanya ada satu cara. Jadi umat penyembah Barat. Makan Pizza, sepatu Nike, Starbucks Coffe, MTV, musik R&B, dan semacamnya.

Eropa Barat, maupun Amerika rupanya telah jadi berhala baru bagi banyak orang muda.

Oke, kalau kita suka karena memang kita suka, ada ruang toleransi di tahap itu. Tak lantas sambil merendahkan diri, tak seraya bersifat naif menghina kelokalan kita. Itu masalah pilihan. Bila kita suka karena alasan yang kuat, terasa wajar dan sah-sah saja.

Hal menyedihkannya ialah ber-barat ria sekadar kerena latah, karena takut dibilang kuno, lokal, atau sekali lagi ndeso.

Menyenangkan sekali hidup dengan dikenal, terkenal, dan banyak, yang ingin kenal. Rasanya tiap dari kita selalu punya dorongan itu. Tulisan ini bukan dalam kapasitas mengadili, mana budaya dunia yang lebih bagus atau lebih hebat. Akan tetapi, lebih lebih pada titik tekan, betapa beracunnya takut melokalkan diri. Gebyah uyah, dengan memandang lokal itu jelek, hanya akan menyesat diri pada kebuntuan kreativitas.

Membawa ke titik kehilangan sensitifitas untuk maju, kehilangan kepekaan hidup bermasyarakat. Nah, kalau kita sudah kepekaan bermanusia, menceraikan diri dari ikatan batin dengan masyarakat, berpisah jiwa dengan kelokalan ibu pertwi kita. Lantas, apa atau siapa kita?

Ada satu ungkapan menarik, ketika orang kehilangan masa muda, maka dia hanya akan menjadi tua. Ketika orang kehilangan kerja, dia akan hanya susut harta. Ketika orang sakit, dia hanya akan hilang sejenak sehatnya. Namun tanpa karakter, seseorang niscahya kehilangan segalanya.

Hal mana aspek kelokalan rupanya begitu terpelihara di nama-nama orang barat. Seperti Bush yang presiden Amerika itu terasa begitu Texas. Bush (semak belukar: Ing) adalah bagian dari keseharian kehidupan a la Koboi Texas. Tentu akhirnya lebih mudah bagi kita memahami karakter bengalnya. Seperti yang dipertontonkannya saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Begitu kontrasnya dengan kepala negara kita ketika menjemputnya. Di mana gaya presiden kita begitu sangat timur, sangat andap asor khas jawa. Mriyayeni. Bush meloncat begitu saja dari pintu mobil, tepat di hadapan presiden kita.

Tetapi hal positif yang kita bisa liat dari Bush adalah kebanggaannya dengan daerahnya. Atau setidak-tidaknya, dengan melihat namanya, kita bisa membayangkan kira-kira zaman koboi di Amerika dulu itu seperti apa. Bush sangat PD dengan kelokalannya. Lalu, tidakkah kita idealnya serupa? Ya, maka mari dengan sepenuh jiwa, kita serukan bangga.. Yes, gue Indonesia![]

n.b. Lihat Pinus&Pinus

Menikmati Hujan

Di setiap lingkar cincin, adanya mata adalah penyempurna. Di satu taman, mekar bunga adalah pelengkapnya. Dan untuk empat sehat, tambah susu berarti adalah sempurna. Sama, moga adanya Pinus dan Pinus di tangan, senantiasa sanggup lengkapi hidup anda.

Lantas kami juga tak akan lupa berterima kasih untuk bercangkir kopi, dan batang-batang tembakau yang menemani debat-debat kami di setiap rapat penerbitan.
 
Maka, mesti sangat tidak merekomendasikan, musti diceritakan, sensasi nikotin, dalam setiap kepulan asap tembakau, jelas terasa begitu melengkapi nuansa penghujan musim ini. Angan untuk terus memberikan yang terbaik buat pembaca senantiasa serta di setiap hisapan tembakau kami.

Juga dengan pagi, siang, sore, malam yang masih beruntung kita nikmati, terlampau berharga untuk tak dihias dengan syukur. Bagaimanapun, Madiun tak sesulit Jakarta dengan banjir. Atau Sidoarjo dengan lumpur Lapindonya.

Itulah mengapa dengan sangat bangga segenap dewan redaksi mempersembahkan Pinus dan Pinus, sebagai salah satu ungkapan syukur kami, masih berkesempatan menikmati muda. Berkesempatan berbagi Madiun tercinta dengan Anda. Tentu, juga sebagai bagian terintegrasi dari komitmen kami untuk jadi sahabat Anda.

Karakter
Lalu, bagaiman gaya Anda sendiri untuk menikmati bulan hujan di Madiun hari-hari terakhir ini? Besar harapan kami, di setiap musim, orang-orang muda seperti kitalah yang selalu bisa menjadi inspirasi masyarakat. Tak soal apakah lagi hujan, kemarau, musim durian atau rambutan, pokoknya orang muda selalu pantas di depan.

Di fase usia ini, tak mudah memungkir, kita dalam tahap mental mencari bentuk. Mencari karakter.

Hidup, kata orang hanya tak lebih dari sekadar pilihan. Kita sendiri yang berkesempatan buat merancang, mencapai, tentu juga sembari menikmati, baik proses maupun hasilnya.

Sekali lagi maka harus kami katakan menyenangkan selalu bila bisa berbagi semangat dengan Anda.

Dilatari suara merdu hujan yang bertambur dengan bumi, selayak Louis Amstrong bermedu nyanyi-menyanyi di komputer kerja kami. Datang terhatur, semoga salam kami selalu bisa sampai di semua Anda punya lubuk hati.

Hemat kami, persahabatan kita adalah perwujudan untuh sebuah jati diri. Yang muda, yang berprestasi.


Think Globally, Act Locally.
Love our country,

Salam. 

n.b. Lihat Pinus&Pinus 

Pinus & Pinus

Pinus&Pinus #3
Medio 2007, lupa tepatnya kapan, menjelang tengah malam saya "diculik" beberapa senior Bramastya ke warung kopi di depan stasiun besar kereta api Madiun. Tidak banyak, hanya enam orang dengan saya -- tentu saja yang paling junior (masih kelas XI di SMA 2).

Obrolan warung kopi itu berujung pada gagasan mencetak semacam mild magazine. Disepakati pakai nama Pinus & Pinus dengan format 15 cm x 22 cm, tebal kurang lebih 15 halaman. Ide tema sengaja diusung selaras dengan Bramastya: pembentukan karakter dan kepedulian lingkungan. Segmentasi pembaca adalah orang muda atau orang yang pernah muda :)

Malam ini, akhir Maret 2012, ketika beres-beres kamar kosan saya temukan satu eksemplar  Pinus & Pinus edisi #3. Setelah lima tahun, semoga edisi-edisi yang lain masih bisa saya temukan terselip di kamar Madiun.

 Memang sangat disayangkan cuma terbit sampai edisi #5 (kalau ndak salah) saja.

Walau tidak ada by line pada kolom-kolomnya, tapi saya yakin dan ingat edisi ini kesemuanya ditulis Mas Andik Kurniawan.

Sebelum raib juga kemakan waktu, saya abadikan menu-menu edisi #3 di blog ini:


Selasa, 27 Maret 2012

Separoh Kopi yang Habis Belakangan

Aku ingat persis sore itu. Entah sudah berapa batang rokok temani menungguimu dalam diamku. Masih saja kuhisap tanpa peduli sekitar. Walau waktu merajuk tuk direngkuh.

1 jam, 2 jam……… hampir 3 jam!

Sepertinya kau tak akan datang. Harusnya sudah kuduga hal itu. Harusnya wanita sepertimu mudah ditebak; entah kenapa sore itu aku memutuskan untuk tidak tergoda membaca gelagatmu. Aku jadi suka menunggu.

Oke, satu batang lagi; akan kusudahi semua ini.

Tapi aku tak ingat persis cuaca sore itu. Ah, sejak kapan laki-laki peduli cuaca. Eh, bukan, sebenarnya aku tak peduli cuaca sejak mengenalmu: sore itu. Kau yang mengajariku tak pedulikan cuaca. Dan sore itu, mengajariku mengenalimu. Ya, aku benar-benar baru mengenalimu dengan benar.

Kulihat kopi itu masih separoh menggenangi cangkir. Sudah tak beruap. Apa urusanku dengan separoh kopi yang telah dingin, pikirku. Heh! kopi pun tak kugubris.

……………………………

Tapi kutenggak tandas juga kopi yang separoh itu. Ketiadaan memang harus diciptakan. Harus kutuntaskan urusanku dengan separoh kopi-pahit-yang-dingin itu.

Lihatlah betapa aku jadi tergagap. Bukan karena kopi, bukan karena kamu. Entahlah, sebetulnya aku tak betul-betul mengerti. Entahlah. Tapi kupastikan bukan karena kamu.

Kumatikan rokok terakhir. Saat itu juga kuangkat kakiku menembus hujan. Kutinggalkan sore itu: sore yang biasa tapi meniadakan. Semoga kau tak datang karena hujan. Semoga hujan dapat mamadamkan aku.

Aku sedang membara, tapi, harusnya ku tahu tak semua wanita tahan api.

Bawak Nao

BAWAK NAO, sebuah dusun kecil di lembah kaki gunung Rinjani. Malam itu saya duduk minum kopi di sana. Belum malam benar; suasana lenggang, namun tidak muram. Keramahan warga membuat lebih hangat kopi yang kami hirup.

Fasilitas publik terbatas. Transportasi umum hanya berupa mobil bak sayur. Tidak ada penerangan jalan. Jangan kira ada rumah sakit, tiap rumah cuma diterangi 3-4 lampu 15 watt. Laiknya sebuah perkampungan ninja dalam kisah-kisah Jepang.

Sekejap, terlintas ketidakadilan dalam pikiran saya. Jika saja Tuan dan Nyonya malam itu sedang menikmati hangat kopi mahal di sudut sebuah mall elit, Anda bisa bayangkan mungkin daya listrik yang digunakan mall itu lebih besar dari daya di seluruh Bawak Nao. Atau mungkin kedai kopi itu membutuhkan daya lebih besar dari puskesmas di sana. Pernah saya membaca sebuah artikel, listrik yang digunakan mesin penjual minuman otomatis di seluruh Jepang, katanya, menggunakan daya lebih besar dari seluruh Bangladesh.

Sementara orang kota menikmati subsidi BBM dengan mudah, warga di Bawak Nao harus menempuh puluhan kilometer menuju SPBU terdekat. Sedangkan ancaman perubahan iklim tetap dirasakan di sana. Petani merugi, petani gagal panen, karena cuaca tak tentu yang (bisa jadi) disebabkan pola konsumtif kita--orang kota--dalam menggunakan energi.

Pada dasarnya perubahan iklim dan ketidakseimbangan alam dapat dipengaruhi dua hal: faktor alami dan faktor tangan manusia. Dibandingkan dengan faktor alami, para ahli melihat ulah tangan manusia lebih banyak berperan. Debu polutan yang mengganggu keseimbangan mulai dari asap kendaraan dan buangan pabrik sampai pembakaran sampah. Biang utamanya adalah meningkatnya kadar karbondioksida di udara. Penyebab utamanya, pembakaran minyak bumi.

Faktor utama penentu iklim bumi lainnya adalah industri semen. Para ahli menempatkannya sebagai penyebab ketiga terbesar menumpuknya karbondioksida di angkasa setelah pembakaran bahan bakar fosil dan aerosol. Setidaknya 2,5% karbon di udara berasal dari sumbangan industri semen.

Menurut laporan IPCC, selama 400.000 tahun, jumlah karbondioksida relatif stabil. Namun, sejak revolusi industri pada 1850-an, gas karbon merajai angkasa dari sekitar 280 ppm menjadi 380 ppm pada saat ini. Jika kondisi tidak berubah, para ahli memperkirakan, jumlah itu dapat mencapai 560 ppm di ujung abad ke-21 atau mencapai tingkat paling tinggi selama 800.000 tahun! Para ahli memperkirakan terjadi peningkatan suhu bumi sebesar 1,4-5,6 derajat celcius pada periode 1990-2100 (Gatra, 28 November 2007)

Ketidakadilanya adalah: kita menikmati kopi mahal sembari mendengarkan musik lewat iPod di sudut mall elit; kita memakai tas dan sepatu mahal produk industri besar; kita dengan mudah bisa dapat akses internet; kita dapat seenaknya menggunakan listrik dan minyak bumi. Tidak ada pemerataan penikmatan hasil produksi, tapi dampak negatif dari konsumsi besar kesenangan kita juga dirasakan petani-petani kecil di Bawak Nao. Teknologi dan kemajuan industri tidak hanya membuat dunia menjadi tanpa sekat, musibah juga tanpa sekat.

Globalisasi yang kita agungkan datang juga bersamanya sebuah musibah global. Deras arusnya seakan-akan menghempaskan segalanya, meracuni udara yang kita hirup, mencemari air yang kita minum, meniupkan api konsumerisme hingga membakar identitas-identitas personal sampai siapa pun harus memanipulasinya agar tidak kelihatan tertinggal.

***

Tadi tiba di Bawak Nao dengan cuaca cerah. Sesaat kemudian, ketika cangkir kopi mulai mengering, hujan dan angin turun mengamuk tanpa peringatan menjelang dingin.

Di belahan daerah lain bisa saja orang langsung tidur meringkuk di bawah selimut dan menyalakan pemanas ruangan. Alih-alih tidur senyaman itu, mungkin petani di Bawak Nao tidur dengan resah memikirkan ladang kubisnya yang diguyur hujan.

Sampai di titik ini saya tidak bisa berpikir lagi tentang keadilan. Itu terlalu sulit, terlalu sulit.

Lantas, apakah saya juga perlu tinggal di tengah gunung dan hidup sebagai pertapa? Itu terlalu sulit.[]


Menuju Bawak Nao (31/01/2011)

Senin, 26 Maret 2012

Ruang Lingkup dan Kegunaan Kajian Sosiologi Hukum: Sebuah Ancang-Ancang


Ruang Lingkup
Dalam khazanah keilmuan, sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum.[1]
Soetandyo Wignjosoebroto menerangkan bahwa sosiologi hukum tidak akan mengkaji ihwal isi substantif aturan-aturan hukum perundang-undangan nasional berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Prosedur-prosedur implementatif dan tata cara aplikatif hukum perundang-undangan tersebut pun juga bukan merupakan ranah kajian sosiologi hukum.[2]
Pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perilaku dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.[3]
Sampai pada titik ini, maka dapatlah diajukan pertanyaan: kenapa perspektif sosiologi diperlukan dalam kajian hukum? Satu kesimpulan yang ditarik Seinzheimer kiranya dapat membuka pintu masuk untuk menjawab pertanyaan tersebut, bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa namun berada dalam tatanan tertentu yang dipenuhi manusia. Interaksi sosial antara manusia yang kemudian membentuk sebuah masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari hukum. Oleh karena itu, apabila berbicara tentang perilaku sosial, maka akan selaku berhubungan dengan hukum yang berlaku.
Sosiologi hukum memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat (law as a social control). Hukum dikaitkan dalam upaya-upaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu otoritas kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib dalam interaksi sosialnya.
Untuk dapat melihat permasalahan dengan baik, Satjipto Rahardjo membagi pembicaraan mengenai teori sosiologi hukum sesuai dengan tiga tingkat kejadian, yaitu: makro, meso, dan mikro.[4]
1.      Tingkat makro membicarakan tentang hubungan interaksi dan kaitannya antara dua satuan besar, yaitu masyarakat dan hukum. Pembadanan pada tingkat ini berupa lembaga-lembaga seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang menyiapkan suatu struktur tertentu sehingga hukum dapat dijalankan;
2.      Tingkat meso menyangkut kelembagaan hukum atau interaksi antara lembaga-lembaga tersebut;
3.      Tingkat mikro adalah tentang perilaku substansi dari orang-orang yang berhubungan dengan hukum.
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa sosiologi hukum memperhatikan konteks perilaku sosial dari hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya, yaitu masyarakat.[5] Sehingga kinerja hukum tidak hanya dipandang berdasar peraturan perundang-undangan saja tetapi berdasarkan kompleksitas interasksi manusia di dalam bermasyarakat. 

Kegunaan
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[6]
Pada perspektif ketiga di atas inilah hukum mendapatkan roh dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkretnya. Sehingga besar harapan hukum mampu menciptakan tertib sosial dalam tata perilaku interaksi manusia dalam bermasyarakat.
Hukum berdasarkan cara pandang ketiga tersebut yang menjadi objek kajian dalam sosiologi hukum. Sekali lagi, hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya. Pada kerangka pemikiran ini, Brian Tamaha mencetuskan teori cermin, bahwa hukum adalah cerminan dari masyarakat.[8]
Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Pada tataran tertentu sosiologi hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Secara umum, Soerjono Soekanto memberikan deskripsi mengenai kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya, adalah sebagai berikut:[9]
a)      Memberikan kemampuan-kemampuanbagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b)      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, da sarana untuk mngatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu;
c)      Memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mangadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan umum tersebut, secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:[11]
1.      Pada taraf organisasi dalam masyarakat:
-          Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan, dan penegakan hukum.
-          Dapat diidentifikasikan unsur-unsur budaya manakah yang mempengaruhi isu atau substansi hukum.
-          Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2.      Pada taraf golongan dalam masyarakat:
-          Pengungkapan dari gologan-golongan manakah yang sangat menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum.
-          Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malah dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
-          Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3.      Pada taraf individu:
-          Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perilaku masyarakat.
-          Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melakukan fungsinya.
-          Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak, maupun perilaku yang teratur.[]


[1] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 4.
[3] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.
[5] Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 2
[7] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 6.
[8] Materi kuliah Sosiologi Hukum
[9] Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 26
[11] Loc.cit.

Refleksi: 2

Manusia merencanakan, Tuhan mengecewakan. Dia selalu menjawab permohonan kita walau kadang jawaban itu adalah ‘tidak’. Tapi toh dalam ‘tidak’ senantiasa punya makna, kan?

Refleksi: 1

Yakinlah Tuhan itu bukan polantas. Dia tidak akan langsung tilang hambanya yang salah jalan karena tersesat mencari tujuan.

Sajak Dini Hari

dini hari.. 

adalah tentang malam yang tak kunjung jadi pagi


bukan lantas anak durhaka hari, 
lari sudah kepalang jadi.. 


dini hari.. 

adalah tentang hati yang tak mau mati


tak sudi diri acuhkan arti, 
ingin pergi namun tak lagi.. 


ketika malam lantas tak jadi pagi 
dan hati yang hampir mati
atau langkah-langkah yang tak jadi arti


dini hari.. 
adalah tentang malam yang menunggu pagi


Bulan - Plawangan Sembalun, Rinjani

Sajak tentang Pagi

aku berpikir..
sinar inikah yang bikin hangat?
atau sisa rembulan ini yang bikin hati kerut?


pagi yang tawarkan hasrat,
pagi yang menjerat!

Terbit Matahari - Hargo Dalem, Lawu