Rabu, 04 April 2012

Sejarah Ilmu Hukum: Dinamika Perkembangan Konsep-Konsep

Ubi societas, ibi ius – di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Dalam pengertian bahasa latin tersebut, menunjukkan bahwasanya kala manusia memulai interaksinya dengan sesama, pada saat itu pula hukum hadir. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Namun di sisi lain, manusia juga merupakan homini lupus – serigala bagi sesamanya. Karenanya, untuk itu manusia membutuhkan hukum dalam rangka menciptakan ketertiban dalam lalu-lintas interaksi bermasyarakat.
Sejarah hukum adalah sejarah panjang peradaban umat manusia. Pada konteksnya, hukum bukan merupakan skema yang final (not a final scheme). Perlahan-lahan hukum mewujud berubah bentuk seiring dengan perkembangan pikir dan tata laku sosial masyarakat. 

Konsep Hukum sebagai Nilai
Penerimaan hukum dalam konsep ini berasal dari adanya anggapan bahwa alam ide memiliki posisi sebagai sumber kebenaran. Teori hukum di sini mendasarkan pada kebenaran kodrati yang melekat sebagai kodrat manusia. Hukum hanya dirumuskan wujudnya melalui kontemplasi, sehingga bukan sengaja diciptakan manusia untuk menjadi hukum dalam artian peraturan-peraturan. Indra manusia hanya berfungsi mengkatalisasi atau membangkitkan pengetahuan kebenaran yang eksis dalam alam ide.[1]
Cicero menyatakan pendapatnya mengenai  hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar sesuai dengan alam; ia (hukum) bisa diterapkan di manapun, tidak berubah dan abadi. Begitu juga Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya. Oleh karena itu dunia ini diatur oleh tatanan ketuhanan, seluruh masyarakat di dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi yang diserap manusia sebagai nilai-nilai kehidupan.[2]
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[3]
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu. Salah satu pemikiran utama dalam hukum yang sudah berjalan sejak berabad-abad lalu, adalah untuk memahami arti dari keadilan. Pemikiraan ini membahas apa saja yang menjadi tuntutan dari nilai tersebut dan apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum untuk mewujudkan nilai itu.[4]
Nilai, sebagaimana telah dibahas di muka melalui beberapa pemikiran filosof, merupakan pegangan kodrati manusia tertinggi tentang apa yang dianggap pedoman hidup.

Konsep Hukum sebagai Peraturan
Seiring perkembangan tata pemerintahan dan laku sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dari masyarakat sederhana seperti polis di Yunani yang kemudian terbentuk pula ragam negara-negara pasca-tradisional, ternyata pandangan mengenai “hukum sebagai nilai” tidak cukup untuk mengakomodasi interaksi manusia yang semakin kopleks.
Pemikiran Trias Politika yang pertama kali dilontarkan John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam konsep pemerintahan negara pasca-tradisional Eropa, setidaknya memberikan pengaruh dalam perkembangan hukum modern. Salah satu ciri yang memberikan corak warna hukum modern, bahwa hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5] Yang di mana intrumen hukum tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif.
Menurut asal-usulnya, konsep hukum sebagai peraturan yang pada awalnya diwakili oleh teori hukum murni. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter.[6] Teori Hukum Murni ini lazim dikaitkan pada Mahzab Wina yang dipimpin oleh Hans Kelsen (1881 – 1973).
Teori hukum murni tumbuh berkembang seiring dengan kemajuan aliran positivisme dalam ilmu pengetahuan. Positivisme yang dirintis Auguste  Comte (1798 – 1857) adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan subjektif.[7] Munculnya positivisme dalam ilmu pengetahuan, sangat mempengaruhi perkembangan teori ilmu hukum. Dalam hal ini, teori hukum tidak statis begitu saja mengikuti arus positivisme, namun juga memunculkan gejolak dan kritik terhadap positivisme. Teori hukum terus bergerak mencari bentuk. Hingga kini, setidaknya, aliran hukum dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian:[8]

1.   Ortodhox Jurisprudence
Kajian ini melihat hukum sebagai paraturan yang bebas nilai. Hukum dilihat sebagai sesuatu yang given, bebas dari unsur-unsur seperti politik, kultural, dan ekonomi. Hukum dipandang sebatas peraturan-peraturan perundangan yang logis dan sistematis. Pengaruh positivisme sangat ketara pada kajian ini. Ajaran ini menempatkan kepastian dan ajaran hukum doktrinal sebagai nafasnya. Tokoh pemikir mazhab hukum ini antara lain John Austin, H.L.A. Hart, dan Hans Kelsen.

2.   Sociological Jurisprudence
Merupakan kritik terhadap ajaran orthodox. Sociological Jurisprudence termasuk dalam aliran pos-positivisme. Hukum dipandang tidak sekadar peraturan hukum tertulis dalam perundangan, tetapi juga termasuk hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat (the living law). Mazhab ini melahirkan aliran legal realism dengan kredo yang terkenal: “The law isn’t logic, but experience.”

3.   Socio-Legal Studies
Membagi hukum ke dalam dua kategori: pertama, hukum sebagai aturan atau norma-norma; kedua, hukum sebagai kenyataan perilaku masyarakat. Socio-legal studies diperlukan untuk melakukan kritik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah sudah sesuai atau belum dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pada kajian ini teori-teori sosial banyak digunakan sebagai landasan kritik terhadap peraturan yang bersifat normatif.

4.   Sociology of  Law
Merupakan cabang ilmu dari sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum.[9] Sehingga sosiologi hukum hanya berusaha menjelaskan fenomena hukum dalam masyarakat, bagaimana bekerjannya hukum, mengapa masyarakat menjalankan atau tidak menjalankan hukum.[]


[1] Disarikan dari Prof.  H. Yusriyadi dalam bahan kuliah Filsafat dan Teori Hukum MIH Undip.
[2] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 270.
[3] Ibid, hlm. 6.
[4] Loc. Cit.
[5] Ibid, hlm. 214.
[6] Allen, dalam: Ibid, hlm. 278.
[7] Sulistyowati Irianto dan Sidharta (ed.), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Reflesi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 5.
[8] Disarikan dari Prof. Suteki dalam bahan kuliah Metode Penelitian Hukum MIH Undip.
[9] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.