— Kita hidup di dunia haha-hihi
Tiap
datang di pementasan teater, saya selalu tertarik dengan penonton. Sekadar nyolong pandangan ke arah mbak-mbak ayu
lewat ekor mata, atau diusik suara
ketawa-ketiwi yang tak perlu dari mereka. Menarik, bukan? Sesuatu yang
menyebalkan toh juga bisa menarik.
Apa
yang menarik dari suatu tawa yang tak perlu? Misal dalam Tumpas Kelor yang dipentaskan Teater Dipo di Taman Budaya Raden
Saleh (TBRS), 4 Juni lalu. Lakon karya Mulyani M Noor ini berkisah tentang idealisme
sebuah keluarga menghadapi kediktatoran penguasa. Keluarga yang terdiri dari
bapak, ibu, dan tiga anak perempuan itu menolak tunduk dan melawan dengan
caranya masing-masing, meski akhirnya salah seorang anak diperkosa oleh anak
buah sang penguasa.
Singkat
cerita, untuk “memperhalus” adegan pemerkosaan, sutradara menyelipkan “humor”
melalui dua tokoh pemerkosa: kemudian tawa-bahak penonton menggelegar. Seolah itu
cerita lucu. Tentu ada yang tak tertawa, seperti saya. Tapi suara kami tak
terdengar. Saya menduga—dan semoga benar—sutradara tak bermaksud membuat babak
pemerkosaan menjadi sesuatu yang lucu, gerombolan penonton yang tertawa itulah
yang sakit jiwa. Sebab bagi gerombolan ini, benak mereka sudah terlalu
dimanja-tumpulkan dengan tayangan televisi semacam Opera van Java dan sinetron-sinetron opera sabun yang ber-season-season itu—yang bahkan Tuhan pun tak tahu kapan selesainya. Masyakarat kita
adalah masyarakat yang haus tontonan.
Buat saya ini ironi. Pentas teater menghadirkan kisah tragik untuk menggugah rasa kemanusiaan penontonnya, mengasah kepekaan batin sebagai manusia. Namun orang menganggap itu lucu. Saya kira kuping mereka sudah pekak karena suara keras iklan di televisi.
Buat saya ini ironi. Pentas teater menghadirkan kisah tragik untuk menggugah rasa kemanusiaan penontonnya, mengasah kepekaan batin sebagai manusia. Namun orang menganggap itu lucu. Saya kira kuping mereka sudah pekak karena suara keras iklan di televisi.
Televisi dan Realitas
Modernitas punya kotak pandora dalam wujudnya yang paling
canggih: televisi. Lewat layar kaca ini, segala bentuk berita politik, gosip, drama
korea, sinetron, acara keagamaan, film Hollywood, reality show, talk show, dan show-show
lainnya dikemas dalam tontonan yang menghibur. Tidak ada kedalaman makna
yang dapat diperoleh dari televisi.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
dahsyat, menurut Jean Baudrillard melalui tesisnya tentang simulasi dan
hiperrealitas, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi
bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekadar dapat diceritakan,
direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat,
direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala
sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut antara yang imitasi dengan yang
asli.
Segala macam tayangan televisi bukanlah refleksi atas realitas
kehidupan, namun sebaliknya, televisi-lah yang mengkonstruksi realitas
kehidupan. Sehingga manusia, sebagai makhluk konsumer yang lemah dan tak
berdaya, karena ketidakberdayaannya menekan kerakusan, turut hanyut dalam masyarakat opera sabun—yang
tanpa kita pernah tahu ujung ceritanya di mana. Hidup sebatas menjadi representasi season-season lanjutan serial Cinta Fitri.
***
Kerena itu saya bingung ketika orang bicara mengenai realitas, jika mereka sendiri tak pernah sadar apa itu realitas.
***
Kerena itu saya bingung ketika orang bicara mengenai realitas, jika mereka sendiri tak pernah sadar apa itu realitas.
wow...
BalasHapusmemang realitas itu apa?
BalasHapusrealitas (an sich) sudah ga ada. adanya simulasi.
Hapusbro, an sich tuh artinya bukan realita(s) lho ya.
BalasHapus#ups
Hapushaha.
Hapusalihalih nongkrongin simulakra, coba bacabaca "spectacle"nya guy debord bro, kayae lebih masuk (kalo mau ngulas penontonnya lho ya) tapi kalo sedari awal emang diniatin nyerang simulakrum yo sahsah aja sih. menurutku sih.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus