Rabu, 30 Mei 2012

Ke Mana Bunga-bunga Pergi?

Malam ini, Joan Baez, sayup-sayup menyanyi lagu Pete Seeger lewat pemutar musik di komputer kerja:

Where have all the flowers gone?
Young girls have picked them every one;
Where have all  the young girls gone?
Taken husbans every one;
Where have all the young men gone?
Gone for soldiers every one;
Where have all the soldiers gone?
Gone to graveyards every one;
Where have all the graveyards gone?
Covered with flowers every one.

When will we ever learn?
When will we ever learn?

Dunia memang sudah tak semuram tahun 1965, di mana "Where Have All The Flowers Gone" dinyanyikan ulang oleh Joan Baez untuk menentang Perang Vietnam. Namun, apakah dunia jadi lebih rasional? Sepertinya tidak. Dunia malah semakin didorong dalam kekacauan irasionalisme.

Gaung rasionalisme meledak pada abad ke-19 dengan positivisme Hukum Tiga Tahap Auguste Comte sebagai panglima. Masa ini menjadi abad saintisme: Kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan kemajuan (teknologi) mencapai puncaknya.Manusia, optimis akan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelamatkan dunia, untuk menciptakan kebahagiaan. Abad ke-20, nampaknya nada optimisme abad ke-19 mengalami perubahan cuaca, menjadi "optimisme seakan-akan" yang lebih mirip pesimisme. Perang Dunia I dan II, Fasisme, Perang Vietnam, Perang Teluk, krisis nuklir yang mengancam dunia pada kehancuran atomar, kerusakan lingkungan hidup, dll: Bagaimana manusia yang menganggap diri berada di puncak peradaban dapat terlibat dalam irasionalitas semacam itu? Perusakan lingkungan hidup telah menelanjangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang justru kelihatan akan membawa kehancuran dunia tanpa perang sekalipun. Semua itu membuat umat manusia modern pada hakikatnya merasa pesimis. Yang sebagai reaksinya, menurut Franz Magnis-Suseno, manusia kemudian melarutkan diri dalam konsumerisme yang seakan-akan sesudah segala rencana besar untuk memperbaiki dunia gagal ia dapat menyerah takluk pada hukum pasar saja.

Sains dan teknologi dipacu pesat untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan tentu saja, melalui mekanisme pasar. Gunung dijebol dan hutan dibalik untuk diambil isinya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak dijalankan dengan basis pengembangan keilmuan, namun sebatas "media profesi" pelatihan ketrampilan dengan tujuan "siap kerja". Binatang pun dipecah antara "hewan" dan "ternak". Semua pembenaran disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan kebahagiaan umat manusia -- yang ironisnya arti "kebahagiaan" itu sendiri justru dilupakan.

Sekarang ini, abad ke-21, adalah abad penuh imbas. Terbatas pada hal lingkungan hidup saja kita semakin dicekam ketakutan. Tak heran jika film Wall-E bukan dianggap sebagai paranoia, namun refleksi visioner terhadap realitas yang dihadapi. Bukti yang tampak nyata: Di masa kegilaan ini kita hanya dapat menikmati keindahan bunga dari "selembar" foto.

Maka sayup terdengar suara Joan Baez dalam fail digital:

When will we ever learn?
When will we ever learn?  

Photo by Sandy Asmara. Taken at Kalimati, Gn. Semeru.


Senin, 28 Mei 2012

[Photo] Tiga Tanjakan Gunung Semeru


Entah dari mana dia beroleh nama, setidaknya ada tiga tanjakan populer di Semeru:

1. Tanjakan Cinta, Ranu Kumbolo

Photo by Wahyu Muktiono


















2. Tanjakan Rossa (Tega), Arcopodo

Photo by Pundy Saputro


















3. Tanjakan Afgan (Sadis), Mahameru

Photo by Yoga (Mbahe)

Photo by Pundy Saputro


















:))

(Gn. Semeru, dalam "Pendakian Gembira dan Bijaksana", 17-20 Mei 2012)

Hitam

Tiba-tiba dia menyentak kepadaku, "Lihat pendulum ini!"
Sementara jarum berkejaran dengan perut yang lapar, hati sudah berkeras..
Kutantang hei kau, Malam!
Proses dan kualitas adalah yang terpenting. Biarkan waktu menunggu dan jumlah mengalah.

Kurasakan perlahan merayapi buku-buku jemari.
Cangkir itu telah mendingin, hilang juga uap yang mengiringi aroma menyegarkan..
Tinggal seperempat bagian, akan kuhajar dengan sekali teguk.

Sekilas terlihat di dasar ada ampas yang pernah mencair..
Kutekan dengan ujung jari, bulir-bulir amat halus mulai menempel.
Kubawa jemari ke muka wajah..
Tampak begitu halus, sama sekali tidak bergumpal.
Pekat sehitamnya jelaga tanpa warna lain menggeliat..

Masih tetap kupandang ampas hitam ini..
Sejulur sesuatu membayang kepadanya, kian lama kian jelas.
Sejarah hitam ampas pun bicara..
Bagaimana jutaan moyangku tumpas karena si hitam ini
Bagaimana ratusan tahun tanah airku diperas karena si hitam ini
Bukan racun..tapi cukup untuk bikin goblok raja-diraja negeri ini

Dadaku sesak..
Sesaat kualihkan pandangan ke seberang jendela

Nampak dedaunan hijau berkilau terkena bekas hujan..
Aromanya yang khas mulai merasuki kepala.
Seperti diperintah..
kusentuhkan butiran ampas yang masih menempel di jemari ke ujung lidah.
Seketika terasa..Pahit! Ya, aku yakin ini pahit!

Dia yang manis pernah berkata:
Hidup ini seperti kopi, pahit!
Tidak perlu pemanis untuk menipu diri..
Sambil menikmati, biarkan pahitnya menghilang di pangkal lidah.
Proses dan kualitas adalah yang terpenting. Biarkan waktu menunggu dan jumlah mengalah.

Kopi Hitam-Pahit