Aku ingat persis sore itu. Entah sudah berapa batang rokok temani
menungguimu dalam diamku. Masih saja kuhisap tanpa peduli sekitar. Walau
waktu merajuk tuk direngkuh.
1 jam, 2 jam……… hampir 3 jam!
Sepertinya kau tak akan datang. Harusnya sudah kuduga hal itu.
Harusnya wanita sepertimu mudah ditebak; entah kenapa sore itu aku
memutuskan untuk tidak tergoda membaca gelagatmu. Aku jadi suka
menunggu.
Oke, satu batang lagi; akan kusudahi semua ini.
Tapi aku tak ingat persis cuaca sore itu. Ah, sejak kapan laki-laki
peduli cuaca. Eh, bukan, sebenarnya aku tak peduli cuaca sejak
mengenalmu: sore itu. Kau yang mengajariku tak pedulikan cuaca. Dan sore
itu, mengajariku mengenalimu. Ya, aku benar-benar baru mengenalimu
dengan benar.
Kulihat kopi itu masih separoh menggenangi cangkir. Sudah tak beruap.
Apa urusanku dengan separoh kopi yang telah dingin, pikirku. Heh!
kopi pun tak kugubris.
……………………………
Tapi kutenggak tandas juga kopi yang separoh itu. Ketiadaan memang
harus diciptakan. Harus kutuntaskan urusanku dengan separoh
kopi-pahit-yang-dingin itu.
Lihatlah betapa aku jadi tergagap. Bukan karena kopi, bukan karena
kamu. Entahlah, sebetulnya aku tak betul-betul mengerti. Entahlah. Tapi
kupastikan bukan karena kamu.
Kumatikan rokok terakhir. Saat itu juga kuangkat kakiku menembus
hujan. Kutinggalkan sore itu: sore yang biasa tapi meniadakan. Semoga
kau tak datang karena hujan. Semoga hujan dapat mamadamkan aku.
Aku sedang membara, tapi, harusnya ku tahu tak semua wanita tahan api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar