Selasa, 27 Maret 2012

Separoh Kopi yang Habis Belakangan

Aku ingat persis sore itu. Entah sudah berapa batang rokok temani menungguimu dalam diamku. Masih saja kuhisap tanpa peduli sekitar. Walau waktu merajuk tuk direngkuh.

1 jam, 2 jam……… hampir 3 jam!

Sepertinya kau tak akan datang. Harusnya sudah kuduga hal itu. Harusnya wanita sepertimu mudah ditebak; entah kenapa sore itu aku memutuskan untuk tidak tergoda membaca gelagatmu. Aku jadi suka menunggu.

Oke, satu batang lagi; akan kusudahi semua ini.

Tapi aku tak ingat persis cuaca sore itu. Ah, sejak kapan laki-laki peduli cuaca. Eh, bukan, sebenarnya aku tak peduli cuaca sejak mengenalmu: sore itu. Kau yang mengajariku tak pedulikan cuaca. Dan sore itu, mengajariku mengenalimu. Ya, aku benar-benar baru mengenalimu dengan benar.

Kulihat kopi itu masih separoh menggenangi cangkir. Sudah tak beruap. Apa urusanku dengan separoh kopi yang telah dingin, pikirku. Heh! kopi pun tak kugubris.

……………………………

Tapi kutenggak tandas juga kopi yang separoh itu. Ketiadaan memang harus diciptakan. Harus kutuntaskan urusanku dengan separoh kopi-pahit-yang-dingin itu.

Lihatlah betapa aku jadi tergagap. Bukan karena kopi, bukan karena kamu. Entahlah, sebetulnya aku tak betul-betul mengerti. Entahlah. Tapi kupastikan bukan karena kamu.

Kumatikan rokok terakhir. Saat itu juga kuangkat kakiku menembus hujan. Kutinggalkan sore itu: sore yang biasa tapi meniadakan. Semoga kau tak datang karena hujan. Semoga hujan dapat mamadamkan aku.

Aku sedang membara, tapi, harusnya ku tahu tak semua wanita tahan api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar