Sabtu, 31 Maret 2012

Sudah Tiba Malam Menghilang

Jelang malam menghilang..

Dalam laku dan juga waktu,
kita selalu bertentang.


Kau bukanlah aji yang aku sembah.


Padamu aku telah hilang,
padaku kau adalah pedang.


Tapi sebelum tikammu menembus dada,
sungguh jantung ini sudah hancur berkeping.


Sepanjang laju laku dan juga waktu yang kita pacu,
aku dan kau adalah malam yang hilang dalam perjumpaan



Rabu, 28 Maret 2012

Dicari: Jati Diri

Ada sebagian dari kita mungkin  punya cara pandang, perilaku, tutur, maupun gaya hidup yang sangat berbeda. Konsekuesi logis buat orang seperti ini adalah terlihat aneh. Dalam dua ekstrem yang saling berkebalikan, aneh pertama berarti keren. Namun, pada ekstrem yang sebaliknya, orang seperti itu konyol.

Bilapun mau jujur, ada kecenderungan dari kita untuk berperilaku sesuai dengan apa yang lazim orang kebanyakan lakukan. Memakan apa yang orang lain makan, menggunakan apa yang kebanyakan orang lain gunakan.

Kita dipaksa takut untuk "aneh" dan berbeda. Hal inilah yang lumayan menjelaskan, mengapa akhirnya demam (tren) merupakan suatu perlombaan.

Orang per orang enggan ketinggalan akan sesuatu yang bernama demam (tren). Kita tak ubahnya sekawanan itik yang berbondong berarak menuju sesuatu, yang (parahnya) tak pernah kita tahu mau ke mana.

Demam merupakan suatu gejala sosial di mana kita dipaksa untuk turut dalam suatu pola hidup yang sama. Pemenang adalah dia yang terdepan dalam memaknai demam itu sendiri.

Sebuah tren datang dan pergi. Ada satu era di mana rambut gondrong dan celana gombrong jaya. Pernah pula ada satu masa di mana gaya itu jadi basi. Pula ada satu masa di mana gelang karet warna menjadi demam, tentu datang juga masa di mana hal itu surut dan sekadar menjadi biasa.

Faktanya, orang muda seperti kita merupakan korban demam yang akut. Kita adalah yang paling takut akan yang namanya basi dan ketinggalan. Bila kita tidak larutkan diri dan serta, rasanya seisi dunia akan tertawa, mengejek, dan mencerca.

Kesertaan kita dalam jamaah akbar bernama umat pengikut tren, seolah merupakan suatu keharusan. Tanpa menjadi trendi, seakan eksistensi masa muda menjadi hampa. Tak bermakna dan sia-sia.

Kalau kita sedia meluangkan waktu, sejenak lebih izinkan kecerdasan diri tampil. Mungkin ada dari sebagian kita yang sampai juga pada tanya, kenapa masyarakat konsumen seperti kita, adalah tak lebih dari gerombolan hewan ekonomi yang buta?

Kita digiring dan diarahkan untuk menuju sesuatu, yang sialnya tak pernah kita tahu arahnya.

Sambil kita tahu demam adalah sebuah karya agung insan industrialis, seraya itulah kita menyerah takluk padanya.

Tapi hidup cuma sekadar pilihan. Tinggal jadi cundang ataukah pemenang, itu saja. Pemenang yang mengalirkan zaman, sedang cundang yang membudak pada zaman. Sekadar tut ilining banyu, hanyut dan tak punya kendali.

Yang manakah Anda?[]

n.b. Lihat Pinus&Pinus

"Think Globally, Act Locally!" (say YES to INDONESIA)

Ada yang begitu memantik benak saya pada satu malam di Madiun. Tepatnya saat nonton bola di TV barengan teman.

"Van Persie yang Arsenal itu negara asalnya mana, sih?" Seorang karib melontar tanya.

Lepas dari perkara bagaimana seorang bayi lahir beroleh nama, tiap daerah pasti punya budaya tersendiri untuk mengambil sesuatu buat dijadikan nama. Acapkali menggunakan bahasa, istilah, atau nama-nama umum dari kultur setempat.

Dengan mudah kita tahu seorang Dian Sastro, Tommy Cokro, Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang keturunan jawa. Sama seperti Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dapat gampang terdeteksi kebatakannya lewat atribut marga mereka.

Di masyarakat modern barat, ternyata akan ditemui pula penggunaan nama lokal yang sangat khas. Paolo, Roberto, Fabio, terdengar sangat Italia di kuping kita. Michael, Robert, dan Wayne sangat terasa anglo saxon-nya. Ibrahimovic, Stankovic, juga akan mudah ditebak keeropaan-timurnya.

Maka kembali ke awal buka, Van Persie tentu juga akhirnya dengan mudah dikenali sebagai seorang meneer Belanda. Tak lain karena partikel "Van"-nya itu tadi.

Pun dengan Hidetoshi Nakata yang dari Jepang. Juga Park Ji Sung, yang medhok Koreanya. Terasa sangat oriental, sangat Asia.

Di kajian antropologi, dikenal istilah totemism, yakni pandangan tentang hubungan yang sangat personal antara individu dalam masyarakat "primitif" dengan binatang, benda-benda, atau tumbuhan tertentu di sekitarnya.

Lebih lanjut akan mudah bagi kita untuk menemukan nama-nama berbau agraris di pedesaan Jawa. Katakanlah tukhul (tumbuh, semi), tunggak (sisa batang kayu yang masih tertanam usai tebang), rinjing (wadah khas pedesaan).

Sebutan hewan ternak semacam gudel (anak kerbau), pedhet (anak sapi), dan lembu juga serupa. Akrab kita jumpai sebagai nama diri di masyarakat petani jawa.

Beranjak dari pemahaman itu, nama-nama seperti tukhul atau lembu lebih dari sekadar khas jawa. Sangat detil dan spesifik untuk lebih mengidentifikasi latar belakang sosial ekonomi keluarga.

Adakala nama-nama yang cenderung kita katakan khas di suatu daerah terasa sangat ndeso. Sangat kampungan dan (maaf) kurang gaul. Utamanya yang cenderung totemism.

Adalah suatu ironi, bilamana seseorang merasa keberatan dengan nama lahirnya gara-gara alasan minder atau malu. Merasa nama yang disandangnya jelek dan terbelakang.

Lepas dari motivasi maupun latar belakangnya. Nama merupakan sebuah doa, sebuah harapan orang tua kepada nandanya.


Khas, Unik, dan Berkarakter
Kekurang-gaulan dan ke-ndeso-an nama kadang jadi masalah yang sangat serius buat orang muda. Rupa-rupanya melokalkan diri kian dipandang sebagai jalan mundur dan tidak berwawasan.

Bila merupakan sebuah menifestasi rasa minder, anti lokal sangat berbahaya. Perasaan rendah diri dan tertinggal sangat beracun dan menjebak. Minder itu seringkali berarti miskin, kriminil, juga kontra-produtif. Minder adalah asal dari segala kemunduran bermula.

Ikatan batin dengan alam dan orang tua merupakan sebuah tali. Seseorang yang tidak bisa diidentifikasi asal-usulnya, sesungguhnya sangat aneh dan hina. Lebih anaeh lagi berbondong orang berganti nama, hanya demi alasan untuk lebih OKE. Lebih barat, lebih gaul, lebih gaya. Lebih MODERN.
 
Penyakit minder dan seluruh turunannya ialah sindrom negara berkembang yang akut. Sadar tak sadar berangsur orang takut (atau malu) melokalkan diri. Epidemi keminderan adalah jawaban lugas kenapa satu negara bisa maju, sedang di negara lain tidak.

Bagi orang muda tanpa isi kepala, paspor ke dunia gaul seolah hanya ada satu cara. Jadi umat penyembah Barat. Makan Pizza, sepatu Nike, Starbucks Coffe, MTV, musik R&B, dan semacamnya.

Eropa Barat, maupun Amerika rupanya telah jadi berhala baru bagi banyak orang muda.

Oke, kalau kita suka karena memang kita suka, ada ruang toleransi di tahap itu. Tak lantas sambil merendahkan diri, tak seraya bersifat naif menghina kelokalan kita. Itu masalah pilihan. Bila kita suka karena alasan yang kuat, terasa wajar dan sah-sah saja.

Hal menyedihkannya ialah ber-barat ria sekadar kerena latah, karena takut dibilang kuno, lokal, atau sekali lagi ndeso.

Menyenangkan sekali hidup dengan dikenal, terkenal, dan banyak, yang ingin kenal. Rasanya tiap dari kita selalu punya dorongan itu. Tulisan ini bukan dalam kapasitas mengadili, mana budaya dunia yang lebih bagus atau lebih hebat. Akan tetapi, lebih lebih pada titik tekan, betapa beracunnya takut melokalkan diri. Gebyah uyah, dengan memandang lokal itu jelek, hanya akan menyesat diri pada kebuntuan kreativitas.

Membawa ke titik kehilangan sensitifitas untuk maju, kehilangan kepekaan hidup bermasyarakat. Nah, kalau kita sudah kepekaan bermanusia, menceraikan diri dari ikatan batin dengan masyarakat, berpisah jiwa dengan kelokalan ibu pertwi kita. Lantas, apa atau siapa kita?

Ada satu ungkapan menarik, ketika orang kehilangan masa muda, maka dia hanya akan menjadi tua. Ketika orang kehilangan kerja, dia akan hanya susut harta. Ketika orang sakit, dia hanya akan hilang sejenak sehatnya. Namun tanpa karakter, seseorang niscahya kehilangan segalanya.

Hal mana aspek kelokalan rupanya begitu terpelihara di nama-nama orang barat. Seperti Bush yang presiden Amerika itu terasa begitu Texas. Bush (semak belukar: Ing) adalah bagian dari keseharian kehidupan a la Koboi Texas. Tentu akhirnya lebih mudah bagi kita memahami karakter bengalnya. Seperti yang dipertontonkannya saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Begitu kontrasnya dengan kepala negara kita ketika menjemputnya. Di mana gaya presiden kita begitu sangat timur, sangat andap asor khas jawa. Mriyayeni. Bush meloncat begitu saja dari pintu mobil, tepat di hadapan presiden kita.

Tetapi hal positif yang kita bisa liat dari Bush adalah kebanggaannya dengan daerahnya. Atau setidak-tidaknya, dengan melihat namanya, kita bisa membayangkan kira-kira zaman koboi di Amerika dulu itu seperti apa. Bush sangat PD dengan kelokalannya. Lalu, tidakkah kita idealnya serupa? Ya, maka mari dengan sepenuh jiwa, kita serukan bangga.. Yes, gue Indonesia![]

n.b. Lihat Pinus&Pinus

Menikmati Hujan

Di setiap lingkar cincin, adanya mata adalah penyempurna. Di satu taman, mekar bunga adalah pelengkapnya. Dan untuk empat sehat, tambah susu berarti adalah sempurna. Sama, moga adanya Pinus dan Pinus di tangan, senantiasa sanggup lengkapi hidup anda.

Lantas kami juga tak akan lupa berterima kasih untuk bercangkir kopi, dan batang-batang tembakau yang menemani debat-debat kami di setiap rapat penerbitan.
 
Maka, mesti sangat tidak merekomendasikan, musti diceritakan, sensasi nikotin, dalam setiap kepulan asap tembakau, jelas terasa begitu melengkapi nuansa penghujan musim ini. Angan untuk terus memberikan yang terbaik buat pembaca senantiasa serta di setiap hisapan tembakau kami.

Juga dengan pagi, siang, sore, malam yang masih beruntung kita nikmati, terlampau berharga untuk tak dihias dengan syukur. Bagaimanapun, Madiun tak sesulit Jakarta dengan banjir. Atau Sidoarjo dengan lumpur Lapindonya.

Itulah mengapa dengan sangat bangga segenap dewan redaksi mempersembahkan Pinus dan Pinus, sebagai salah satu ungkapan syukur kami, masih berkesempatan menikmati muda. Berkesempatan berbagi Madiun tercinta dengan Anda. Tentu, juga sebagai bagian terintegrasi dari komitmen kami untuk jadi sahabat Anda.

Karakter
Lalu, bagaiman gaya Anda sendiri untuk menikmati bulan hujan di Madiun hari-hari terakhir ini? Besar harapan kami, di setiap musim, orang-orang muda seperti kitalah yang selalu bisa menjadi inspirasi masyarakat. Tak soal apakah lagi hujan, kemarau, musim durian atau rambutan, pokoknya orang muda selalu pantas di depan.

Di fase usia ini, tak mudah memungkir, kita dalam tahap mental mencari bentuk. Mencari karakter.

Hidup, kata orang hanya tak lebih dari sekadar pilihan. Kita sendiri yang berkesempatan buat merancang, mencapai, tentu juga sembari menikmati, baik proses maupun hasilnya.

Sekali lagi maka harus kami katakan menyenangkan selalu bila bisa berbagi semangat dengan Anda.

Dilatari suara merdu hujan yang bertambur dengan bumi, selayak Louis Amstrong bermedu nyanyi-menyanyi di komputer kerja kami. Datang terhatur, semoga salam kami selalu bisa sampai di semua Anda punya lubuk hati.

Hemat kami, persahabatan kita adalah perwujudan untuh sebuah jati diri. Yang muda, yang berprestasi.


Think Globally, Act Locally.
Love our country,

Salam. 

n.b. Lihat Pinus&Pinus 

Pinus & Pinus

Pinus&Pinus #3
Medio 2007, lupa tepatnya kapan, menjelang tengah malam saya "diculik" beberapa senior Bramastya ke warung kopi di depan stasiun besar kereta api Madiun. Tidak banyak, hanya enam orang dengan saya -- tentu saja yang paling junior (masih kelas XI di SMA 2).

Obrolan warung kopi itu berujung pada gagasan mencetak semacam mild magazine. Disepakati pakai nama Pinus & Pinus dengan format 15 cm x 22 cm, tebal kurang lebih 15 halaman. Ide tema sengaja diusung selaras dengan Bramastya: pembentukan karakter dan kepedulian lingkungan. Segmentasi pembaca adalah orang muda atau orang yang pernah muda :)

Malam ini, akhir Maret 2012, ketika beres-beres kamar kosan saya temukan satu eksemplar  Pinus & Pinus edisi #3. Setelah lima tahun, semoga edisi-edisi yang lain masih bisa saya temukan terselip di kamar Madiun.

 Memang sangat disayangkan cuma terbit sampai edisi #5 (kalau ndak salah) saja.

Walau tidak ada by line pada kolom-kolomnya, tapi saya yakin dan ingat edisi ini kesemuanya ditulis Mas Andik Kurniawan.

Sebelum raib juga kemakan waktu, saya abadikan menu-menu edisi #3 di blog ini:


Selasa, 27 Maret 2012

Separoh Kopi yang Habis Belakangan

Aku ingat persis sore itu. Entah sudah berapa batang rokok temani menungguimu dalam diamku. Masih saja kuhisap tanpa peduli sekitar. Walau waktu merajuk tuk direngkuh.

1 jam, 2 jam……… hampir 3 jam!

Sepertinya kau tak akan datang. Harusnya sudah kuduga hal itu. Harusnya wanita sepertimu mudah ditebak; entah kenapa sore itu aku memutuskan untuk tidak tergoda membaca gelagatmu. Aku jadi suka menunggu.

Oke, satu batang lagi; akan kusudahi semua ini.

Tapi aku tak ingat persis cuaca sore itu. Ah, sejak kapan laki-laki peduli cuaca. Eh, bukan, sebenarnya aku tak peduli cuaca sejak mengenalmu: sore itu. Kau yang mengajariku tak pedulikan cuaca. Dan sore itu, mengajariku mengenalimu. Ya, aku benar-benar baru mengenalimu dengan benar.

Kulihat kopi itu masih separoh menggenangi cangkir. Sudah tak beruap. Apa urusanku dengan separoh kopi yang telah dingin, pikirku. Heh! kopi pun tak kugubris.

……………………………

Tapi kutenggak tandas juga kopi yang separoh itu. Ketiadaan memang harus diciptakan. Harus kutuntaskan urusanku dengan separoh kopi-pahit-yang-dingin itu.

Lihatlah betapa aku jadi tergagap. Bukan karena kopi, bukan karena kamu. Entahlah, sebetulnya aku tak betul-betul mengerti. Entahlah. Tapi kupastikan bukan karena kamu.

Kumatikan rokok terakhir. Saat itu juga kuangkat kakiku menembus hujan. Kutinggalkan sore itu: sore yang biasa tapi meniadakan. Semoga kau tak datang karena hujan. Semoga hujan dapat mamadamkan aku.

Aku sedang membara, tapi, harusnya ku tahu tak semua wanita tahan api.

Bawak Nao

BAWAK NAO, sebuah dusun kecil di lembah kaki gunung Rinjani. Malam itu saya duduk minum kopi di sana. Belum malam benar; suasana lenggang, namun tidak muram. Keramahan warga membuat lebih hangat kopi yang kami hirup.

Fasilitas publik terbatas. Transportasi umum hanya berupa mobil bak sayur. Tidak ada penerangan jalan. Jangan kira ada rumah sakit, tiap rumah cuma diterangi 3-4 lampu 15 watt. Laiknya sebuah perkampungan ninja dalam kisah-kisah Jepang.

Sekejap, terlintas ketidakadilan dalam pikiran saya. Jika saja Tuan dan Nyonya malam itu sedang menikmati hangat kopi mahal di sudut sebuah mall elit, Anda bisa bayangkan mungkin daya listrik yang digunakan mall itu lebih besar dari daya di seluruh Bawak Nao. Atau mungkin kedai kopi itu membutuhkan daya lebih besar dari puskesmas di sana. Pernah saya membaca sebuah artikel, listrik yang digunakan mesin penjual minuman otomatis di seluruh Jepang, katanya, menggunakan daya lebih besar dari seluruh Bangladesh.

Sementara orang kota menikmati subsidi BBM dengan mudah, warga di Bawak Nao harus menempuh puluhan kilometer menuju SPBU terdekat. Sedangkan ancaman perubahan iklim tetap dirasakan di sana. Petani merugi, petani gagal panen, karena cuaca tak tentu yang (bisa jadi) disebabkan pola konsumtif kita--orang kota--dalam menggunakan energi.

Pada dasarnya perubahan iklim dan ketidakseimbangan alam dapat dipengaruhi dua hal: faktor alami dan faktor tangan manusia. Dibandingkan dengan faktor alami, para ahli melihat ulah tangan manusia lebih banyak berperan. Debu polutan yang mengganggu keseimbangan mulai dari asap kendaraan dan buangan pabrik sampai pembakaran sampah. Biang utamanya adalah meningkatnya kadar karbondioksida di udara. Penyebab utamanya, pembakaran minyak bumi.

Faktor utama penentu iklim bumi lainnya adalah industri semen. Para ahli menempatkannya sebagai penyebab ketiga terbesar menumpuknya karbondioksida di angkasa setelah pembakaran bahan bakar fosil dan aerosol. Setidaknya 2,5% karbon di udara berasal dari sumbangan industri semen.

Menurut laporan IPCC, selama 400.000 tahun, jumlah karbondioksida relatif stabil. Namun, sejak revolusi industri pada 1850-an, gas karbon merajai angkasa dari sekitar 280 ppm menjadi 380 ppm pada saat ini. Jika kondisi tidak berubah, para ahli memperkirakan, jumlah itu dapat mencapai 560 ppm di ujung abad ke-21 atau mencapai tingkat paling tinggi selama 800.000 tahun! Para ahli memperkirakan terjadi peningkatan suhu bumi sebesar 1,4-5,6 derajat celcius pada periode 1990-2100 (Gatra, 28 November 2007)

Ketidakadilanya adalah: kita menikmati kopi mahal sembari mendengarkan musik lewat iPod di sudut mall elit; kita memakai tas dan sepatu mahal produk industri besar; kita dengan mudah bisa dapat akses internet; kita dapat seenaknya menggunakan listrik dan minyak bumi. Tidak ada pemerataan penikmatan hasil produksi, tapi dampak negatif dari konsumsi besar kesenangan kita juga dirasakan petani-petani kecil di Bawak Nao. Teknologi dan kemajuan industri tidak hanya membuat dunia menjadi tanpa sekat, musibah juga tanpa sekat.

Globalisasi yang kita agungkan datang juga bersamanya sebuah musibah global. Deras arusnya seakan-akan menghempaskan segalanya, meracuni udara yang kita hirup, mencemari air yang kita minum, meniupkan api konsumerisme hingga membakar identitas-identitas personal sampai siapa pun harus memanipulasinya agar tidak kelihatan tertinggal.

***

Tadi tiba di Bawak Nao dengan cuaca cerah. Sesaat kemudian, ketika cangkir kopi mulai mengering, hujan dan angin turun mengamuk tanpa peringatan menjelang dingin.

Di belahan daerah lain bisa saja orang langsung tidur meringkuk di bawah selimut dan menyalakan pemanas ruangan. Alih-alih tidur senyaman itu, mungkin petani di Bawak Nao tidur dengan resah memikirkan ladang kubisnya yang diguyur hujan.

Sampai di titik ini saya tidak bisa berpikir lagi tentang keadilan. Itu terlalu sulit, terlalu sulit.

Lantas, apakah saya juga perlu tinggal di tengah gunung dan hidup sebagai pertapa? Itu terlalu sulit.[]


Menuju Bawak Nao (31/01/2011)

Senin, 26 Maret 2012

Ruang Lingkup dan Kegunaan Kajian Sosiologi Hukum: Sebuah Ancang-Ancang


Ruang Lingkup
Dalam khazanah keilmuan, sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum.[1]
Soetandyo Wignjosoebroto menerangkan bahwa sosiologi hukum tidak akan mengkaji ihwal isi substantif aturan-aturan hukum perundang-undangan nasional berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Prosedur-prosedur implementatif dan tata cara aplikatif hukum perundang-undangan tersebut pun juga bukan merupakan ranah kajian sosiologi hukum.[2]
Pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perilaku dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.[3]
Sampai pada titik ini, maka dapatlah diajukan pertanyaan: kenapa perspektif sosiologi diperlukan dalam kajian hukum? Satu kesimpulan yang ditarik Seinzheimer kiranya dapat membuka pintu masuk untuk menjawab pertanyaan tersebut, bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa namun berada dalam tatanan tertentu yang dipenuhi manusia. Interaksi sosial antara manusia yang kemudian membentuk sebuah masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari hukum. Oleh karena itu, apabila berbicara tentang perilaku sosial, maka akan selaku berhubungan dengan hukum yang berlaku.
Sosiologi hukum memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat (law as a social control). Hukum dikaitkan dalam upaya-upaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu otoritas kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib dalam interaksi sosialnya.
Untuk dapat melihat permasalahan dengan baik, Satjipto Rahardjo membagi pembicaraan mengenai teori sosiologi hukum sesuai dengan tiga tingkat kejadian, yaitu: makro, meso, dan mikro.[4]
1.      Tingkat makro membicarakan tentang hubungan interaksi dan kaitannya antara dua satuan besar, yaitu masyarakat dan hukum. Pembadanan pada tingkat ini berupa lembaga-lembaga seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang menyiapkan suatu struktur tertentu sehingga hukum dapat dijalankan;
2.      Tingkat meso menyangkut kelembagaan hukum atau interaksi antara lembaga-lembaga tersebut;
3.      Tingkat mikro adalah tentang perilaku substansi dari orang-orang yang berhubungan dengan hukum.
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa sosiologi hukum memperhatikan konteks perilaku sosial dari hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya, yaitu masyarakat.[5] Sehingga kinerja hukum tidak hanya dipandang berdasar peraturan perundang-undangan saja tetapi berdasarkan kompleksitas interasksi manusia di dalam bermasyarakat. 

Kegunaan
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[6]
Pada perspektif ketiga di atas inilah hukum mendapatkan roh dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkretnya. Sehingga besar harapan hukum mampu menciptakan tertib sosial dalam tata perilaku interaksi manusia dalam bermasyarakat.
Hukum berdasarkan cara pandang ketiga tersebut yang menjadi objek kajian dalam sosiologi hukum. Sekali lagi, hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya. Pada kerangka pemikiran ini, Brian Tamaha mencetuskan teori cermin, bahwa hukum adalah cerminan dari masyarakat.[8]
Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Pada tataran tertentu sosiologi hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Secara umum, Soerjono Soekanto memberikan deskripsi mengenai kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya, adalah sebagai berikut:[9]
a)      Memberikan kemampuan-kemampuanbagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b)      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, da sarana untuk mngatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu;
c)      Memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mangadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan umum tersebut, secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:[11]
1.      Pada taraf organisasi dalam masyarakat:
-          Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan, dan penegakan hukum.
-          Dapat diidentifikasikan unsur-unsur budaya manakah yang mempengaruhi isu atau substansi hukum.
-          Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2.      Pada taraf golongan dalam masyarakat:
-          Pengungkapan dari gologan-golongan manakah yang sangat menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum.
-          Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malah dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
-          Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3.      Pada taraf individu:
-          Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perilaku masyarakat.
-          Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melakukan fungsinya.
-          Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak, maupun perilaku yang teratur.[]


[1] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 4.
[3] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.
[5] Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 2
[7] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 6.
[8] Materi kuliah Sosiologi Hukum
[9] Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 26
[11] Loc.cit.

Refleksi: 2

Manusia merencanakan, Tuhan mengecewakan. Dia selalu menjawab permohonan kita walau kadang jawaban itu adalah ‘tidak’. Tapi toh dalam ‘tidak’ senantiasa punya makna, kan?

Refleksi: 1

Yakinlah Tuhan itu bukan polantas. Dia tidak akan langsung tilang hambanya yang salah jalan karena tersesat mencari tujuan.

Sajak Dini Hari

dini hari.. 

adalah tentang malam yang tak kunjung jadi pagi


bukan lantas anak durhaka hari, 
lari sudah kepalang jadi.. 


dini hari.. 

adalah tentang hati yang tak mau mati


tak sudi diri acuhkan arti, 
ingin pergi namun tak lagi.. 


ketika malam lantas tak jadi pagi 
dan hati yang hampir mati
atau langkah-langkah yang tak jadi arti


dini hari.. 
adalah tentang malam yang menunggu pagi


Bulan - Plawangan Sembalun, Rinjani

Sajak tentang Pagi

aku berpikir..
sinar inikah yang bikin hangat?
atau sisa rembulan ini yang bikin hati kerut?


pagi yang tawarkan hasrat,
pagi yang menjerat!

Terbit Matahari - Hargo Dalem, Lawu

Ada yang Tak Terjangkau Antara Aku dan Engkau

Sapardi bicara cinta,
yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api,
yang membuatnya menjadi abu..


yang tak tersampaikan 
awan kepada hujan,
yang membuatnya tiada..


Tapi aku ingin mencintaimu dengan lebih sederhana
tanpa mulut berucap kata
tanpa isyarat selirih angin


Lantas itulah yang membuatmu jadi tiada..


Menulis

Kalau benar kata Pram menulis itu butuh keberanian. Saya sungguh orang yang penakut :)
Let's Rockin'..