Rabu, 20 Juni 2012

Dunia Sandiwara dalam Masyarakat Opera Sabun

— Kita hidup di dunia haha-hihi

Tiap datang di pementasan teater, saya selalu tertarik dengan penonton. Sekadar nyolong pandangan ke arah mbak-mbak ayu lewat ekor mata,  atau diusik suara ketawa-ketiwi yang tak perlu dari mereka. Menarik, bukan? Sesuatu yang menyebalkan toh juga bisa menarik.

Apa yang menarik dari suatu tawa yang tak perlu? Misal dalam Tumpas Kelor yang dipentaskan Teater Dipo di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), 4 Juni lalu. Lakon karya Mulyani M Noor ini berkisah tentang idealisme sebuah keluarga menghadapi kediktatoran penguasa. Keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak perempuan itu menolak tunduk dan melawan dengan caranya masing-masing, meski akhirnya salah seorang anak diperkosa oleh anak buah sang penguasa.

Singkat cerita, untuk “memperhalus” adegan pemerkosaan, sutradara menyelipkan “humor” melalui dua tokoh pemerkosa: kemudian tawa-bahak penonton menggelegar. Seolah itu cerita lucu. Tentu ada yang tak tertawa, seperti saya. Tapi suara kami tak terdengar. Saya menduga—dan semoga benar—sutradara tak bermaksud membuat babak pemerkosaan menjadi sesuatu yang lucu, gerombolan penonton yang tertawa itulah yang sakit jiwa. Sebab bagi gerombolan ini, benak mereka sudah terlalu dimanja-tumpulkan dengan tayangan televisi semacam Opera van Java dan sinetron-sinetron opera sabun yang ber-season-season­ ituyang bahkan Tuhan pun tak tahu kapan selesainya. Masyakarat kita adalah masyarakat yang haus tontonan.

Buat saya ini ironi. Pentas teater menghadirkan kisah tragik untuk menggugah rasa kemanusiaan penontonnya, mengasah kepekaan batin sebagai manusia. Namun orang menganggap itu lucu. Saya kira kuping mereka sudah pekak karena suara keras iklan di televisi.

Televisi dan Realitas
Modernitas punya kotak pandora dalam wujudnya yang paling canggih: televisi. Lewat layar kaca ini, segala bentuk berita politik, gosip, drama korea, sinetron, acara keagamaan, film Hollywood, reality show, talk show, dan show-show lainnya dikemas dalam tontonan yang menghibur. Tidak ada kedalaman makna yang dapat diperoleh dari televisi.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Jean Baudrillard melalui tesisnya tentang simulasi dan hiperrealitas, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekadar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut antara yang imitasi dengan yang asli.

Segala macam tayangan televisi bukanlah refleksi atas realitas kehidupan, namun sebaliknya, televisi-lah yang mengkonstruksi realitas kehidupan. Sehingga manusia, sebagai makhluk konsumer yang lemah dan tak berdaya, karena ketidakberdayaannya menekan kerakusan, turut hanyut dalam masyarakat opera sabun—yang tanpa kita pernah tahu ujung ceritanya di mana. Hidup sebatas menjadi representasi season-season lanjutan serial Cinta Fitri.

***

Kerena itu saya bingung ketika orang bicara mengenai realitas, jika mereka sendiri tak pernah sadar apa itu realitas. 

Selasa, 19 Juni 2012

Refleksi: 3

Sepahit kopi: demikian kehidupan. Banyak hal yang membuatku lupa akan wanginya: Seolah kopi hanya ditakdirkan untuk menjadi pahit. Memang, menikmati hidup, ternyata tak bisa hanya mengandalkan satu indra, atau bahkan dengan segenap indra. Ada intuisi halus yang menjadikan nikmat kopi sebagai perasaan terberi.

Wangi-kah kopi pahitmu, Manis?

Penyambutan

Salam segala salam,

Pada cuaca yang tak tentu seperti sekarang, saya harap konco-konco sekalian dalam keadaan sehat-sejahtera dan melimpah rizki. Amin.


Ngobrol-ngobrol tentang cuaca yang plin-plankadang panas, kadang dinginmirip anak gadis yang mulai beranjak dewasa: labil dan mudah merajuk, saya kok ndak habis pikir kala warga di lingkungan tempat saya kos menebangi pohon saat kerja bakti kemarin. Ya, bukannya apa-apa, soalnya salah satu pohon itu termasuk pohon rindang yang cukup banyak mereduksi panas matahari. Letaknya pun strategis, tepat di samping kosan. Wah, lha kalau ditebang bisa mengancam kelancaran tidur siang ini nanti. Secara, siang di Semarang itu panasnya ndak ketulungan, apalagi kalau penolong satu-satunya mau ditebang.


Usut punya usut, ternyata pak walikota akan rawuh ke masjid samping kosan untuk peletakan batu pertama renovasi tahap kedua, Selasa nanti. Karena itu lingkungan harus ditata sedemikian rupa agar tampak bersih, rapi, dan sedap dipandang. Termasuk "merapikan" pohon-pohon yang dirasa mengganggu pemandangan dan mengurangi kerapian. Saya cuma bisa gedeg-gedeg kepala. Ya, beginilah pemikiran orang Indonesia, kalau dirasa mengganggu ya langsung dimatikan saja. "Diamankan" istilah orde barunya, "dibina" kalau istilah pak kades timbangan.


Terlepas dari kekecewaan atas pohon yang ditebang, sungguh saya kagum kepada bapak-bapak yang dengan gigih bekerja bakti membersihkan lingkungan. Bagaimana tidak, pagi-pagi benar mereka sudah menguras got, memotong rumput, menebang pohon, gotong royong iuran bikin spanduk penyambutan, dan tidak lupa memasang bendera dan umbul-umbul beragam warna. Semua dirias dan dipoles agar tampak cantik. Agar nanti saat pak wali datang, beliau merasa nyaman ada di lingkungan ini.


Memberi yang terbaik untuk pemimpin atau penguasa ternyata sudah menjadi budaya kita sejak lama. Semacam kearifan lokal. Syahdan, jaman dahulu kala banyak orang tua mempersembahkan anak perawannya untuk dipinang raja. Dan kalau paduka raja berkenan, itu merupakan penghargaan yang tak ternilai bagi orang tua. Prinsipnya: Memberi yang terbaik dari apa yang mampu kita berikan untuk penguasa. Karena kita menganggap penguasa itu titipan Tuhan. Pun juga di era demokrasi sekarang ini, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sedangkan para pemimpin itu terpilih dari suara rakyat, suara Tuhan. Jadi mereka itu juga titipan Tuhan. Kedatangan mereka pun jadi berkah. . Bukan begitu, Konco-konco(?)


Oh iya, saya teringat satu atau dua tahun lalu, ketika pak Yudhoyono sedang dalam perjalanan ke Surabaya (atau ke mana saya lupa) dan mau tak mau harus lewat madiun. Ring road itu, jalan lingkar Madiun, yang biasanya penuh lubang, langsung di-"cling" jadi halus seketika. Sepanjang jalan berjajar para siswa sekolah dengan bendera merah-putih plastik. Mereka harus rela berpanas-ria selama hampir dua jam untuk menyambut rombongan kepresidenan lewat. Tapi tenang saja, siswa-siswi yang diikutkan itu adalah mereka dengan kadar gizi lebih, jadi ndak bakal semaput. Yang kurang gizi ya musti perlu "dibina" dulu. Kan ingin menunjukkan yang terbaik?


Sebenarnya baik sekali kalau ingin menyambut pemimpin kita seperti dua contoh di atas. Tapi mbok ya jangan segitunya (pakai tebang pohon segala). Kan mereka itu datang untuk melihat kondisi warganya juga. Lha kok malah ditutup-tutupi dan dibaik-baikkan. Jadi, ya bukan salah mereka juga kalau sampai ndak tahu kondisi jiwa dan raga rakyatnya. Eh, siapa tahu kalau bapak-bapak dan ibu-ibu pemimpin malah terenyuh dengan kondisi lingkungan masyarakat yang sesungguhnya; dan akhirnya termotivasi untuk bekerja dengan keras demi meningkatkan harkat dan martabat rakyatnya. Tunjukkan saja apa adanya sebagaimana kondisi sebenar-benarnya. Rapi, tentu harus, tapi ndak usah dilebih-lebihkan. Lha wong tidak dinilai juga kan. Kalau ada penilaian akreditasi dari BAN-PT itu baru boleh dilebih-lebihkan. Bukan begitu, Konco-konco(?)


Sudah dulu, kepareng. Saya mau tidur sore, berhubung tidur siang sudah tidak lagi dimungkinkan.

Tabik.


[Pleburan, 15 Maret 2011, pkl. 16.03 WIB]

Pagi, di balkon kosan

Rabu, 30 Mei 2012

Ke Mana Bunga-bunga Pergi?

Malam ini, Joan Baez, sayup-sayup menyanyi lagu Pete Seeger lewat pemutar musik di komputer kerja:

Where have all the flowers gone?
Young girls have picked them every one;
Where have all  the young girls gone?
Taken husbans every one;
Where have all the young men gone?
Gone for soldiers every one;
Where have all the soldiers gone?
Gone to graveyards every one;
Where have all the graveyards gone?
Covered with flowers every one.

When will we ever learn?
When will we ever learn?

Dunia memang sudah tak semuram tahun 1965, di mana "Where Have All The Flowers Gone" dinyanyikan ulang oleh Joan Baez untuk menentang Perang Vietnam. Namun, apakah dunia jadi lebih rasional? Sepertinya tidak. Dunia malah semakin didorong dalam kekacauan irasionalisme.

Gaung rasionalisme meledak pada abad ke-19 dengan positivisme Hukum Tiga Tahap Auguste Comte sebagai panglima. Masa ini menjadi abad saintisme: Kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan kemajuan (teknologi) mencapai puncaknya.Manusia, optimis akan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelamatkan dunia, untuk menciptakan kebahagiaan. Abad ke-20, nampaknya nada optimisme abad ke-19 mengalami perubahan cuaca, menjadi "optimisme seakan-akan" yang lebih mirip pesimisme. Perang Dunia I dan II, Fasisme, Perang Vietnam, Perang Teluk, krisis nuklir yang mengancam dunia pada kehancuran atomar, kerusakan lingkungan hidup, dll: Bagaimana manusia yang menganggap diri berada di puncak peradaban dapat terlibat dalam irasionalitas semacam itu? Perusakan lingkungan hidup telah menelanjangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang justru kelihatan akan membawa kehancuran dunia tanpa perang sekalipun. Semua itu membuat umat manusia modern pada hakikatnya merasa pesimis. Yang sebagai reaksinya, menurut Franz Magnis-Suseno, manusia kemudian melarutkan diri dalam konsumerisme yang seakan-akan sesudah segala rencana besar untuk memperbaiki dunia gagal ia dapat menyerah takluk pada hukum pasar saja.

Sains dan teknologi dipacu pesat untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan tentu saja, melalui mekanisme pasar. Gunung dijebol dan hutan dibalik untuk diambil isinya. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak dijalankan dengan basis pengembangan keilmuan, namun sebatas "media profesi" pelatihan ketrampilan dengan tujuan "siap kerja". Binatang pun dipecah antara "hewan" dan "ternak". Semua pembenaran disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan kebahagiaan umat manusia -- yang ironisnya arti "kebahagiaan" itu sendiri justru dilupakan.

Sekarang ini, abad ke-21, adalah abad penuh imbas. Terbatas pada hal lingkungan hidup saja kita semakin dicekam ketakutan. Tak heran jika film Wall-E bukan dianggap sebagai paranoia, namun refleksi visioner terhadap realitas yang dihadapi. Bukti yang tampak nyata: Di masa kegilaan ini kita hanya dapat menikmati keindahan bunga dari "selembar" foto.

Maka sayup terdengar suara Joan Baez dalam fail digital:

When will we ever learn?
When will we ever learn?  

Photo by Sandy Asmara. Taken at Kalimati, Gn. Semeru.


Senin, 28 Mei 2012

[Photo] Tiga Tanjakan Gunung Semeru


Entah dari mana dia beroleh nama, setidaknya ada tiga tanjakan populer di Semeru:

1. Tanjakan Cinta, Ranu Kumbolo

Photo by Wahyu Muktiono


















2. Tanjakan Rossa (Tega), Arcopodo

Photo by Pundy Saputro


















3. Tanjakan Afgan (Sadis), Mahameru

Photo by Yoga (Mbahe)

Photo by Pundy Saputro


















:))

(Gn. Semeru, dalam "Pendakian Gembira dan Bijaksana", 17-20 Mei 2012)