Rabu, 28 Maret 2012

"Think Globally, Act Locally!" (say YES to INDONESIA)

Ada yang begitu memantik benak saya pada satu malam di Madiun. Tepatnya saat nonton bola di TV barengan teman.

"Van Persie yang Arsenal itu negara asalnya mana, sih?" Seorang karib melontar tanya.

Lepas dari perkara bagaimana seorang bayi lahir beroleh nama, tiap daerah pasti punya budaya tersendiri untuk mengambil sesuatu buat dijadikan nama. Acapkali menggunakan bahasa, istilah, atau nama-nama umum dari kultur setempat.

Dengan mudah kita tahu seorang Dian Sastro, Tommy Cokro, Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang keturunan jawa. Sama seperti Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dapat gampang terdeteksi kebatakannya lewat atribut marga mereka.

Di masyarakat modern barat, ternyata akan ditemui pula penggunaan nama lokal yang sangat khas. Paolo, Roberto, Fabio, terdengar sangat Italia di kuping kita. Michael, Robert, dan Wayne sangat terasa anglo saxon-nya. Ibrahimovic, Stankovic, juga akan mudah ditebak keeropaan-timurnya.

Maka kembali ke awal buka, Van Persie tentu juga akhirnya dengan mudah dikenali sebagai seorang meneer Belanda. Tak lain karena partikel "Van"-nya itu tadi.

Pun dengan Hidetoshi Nakata yang dari Jepang. Juga Park Ji Sung, yang medhok Koreanya. Terasa sangat oriental, sangat Asia.

Di kajian antropologi, dikenal istilah totemism, yakni pandangan tentang hubungan yang sangat personal antara individu dalam masyarakat "primitif" dengan binatang, benda-benda, atau tumbuhan tertentu di sekitarnya.

Lebih lanjut akan mudah bagi kita untuk menemukan nama-nama berbau agraris di pedesaan Jawa. Katakanlah tukhul (tumbuh, semi), tunggak (sisa batang kayu yang masih tertanam usai tebang), rinjing (wadah khas pedesaan).

Sebutan hewan ternak semacam gudel (anak kerbau), pedhet (anak sapi), dan lembu juga serupa. Akrab kita jumpai sebagai nama diri di masyarakat petani jawa.

Beranjak dari pemahaman itu, nama-nama seperti tukhul atau lembu lebih dari sekadar khas jawa. Sangat detil dan spesifik untuk lebih mengidentifikasi latar belakang sosial ekonomi keluarga.

Adakala nama-nama yang cenderung kita katakan khas di suatu daerah terasa sangat ndeso. Sangat kampungan dan (maaf) kurang gaul. Utamanya yang cenderung totemism.

Adalah suatu ironi, bilamana seseorang merasa keberatan dengan nama lahirnya gara-gara alasan minder atau malu. Merasa nama yang disandangnya jelek dan terbelakang.

Lepas dari motivasi maupun latar belakangnya. Nama merupakan sebuah doa, sebuah harapan orang tua kepada nandanya.


Khas, Unik, dan Berkarakter
Kekurang-gaulan dan ke-ndeso-an nama kadang jadi masalah yang sangat serius buat orang muda. Rupa-rupanya melokalkan diri kian dipandang sebagai jalan mundur dan tidak berwawasan.

Bila merupakan sebuah menifestasi rasa minder, anti lokal sangat berbahaya. Perasaan rendah diri dan tertinggal sangat beracun dan menjebak. Minder itu seringkali berarti miskin, kriminil, juga kontra-produtif. Minder adalah asal dari segala kemunduran bermula.

Ikatan batin dengan alam dan orang tua merupakan sebuah tali. Seseorang yang tidak bisa diidentifikasi asal-usulnya, sesungguhnya sangat aneh dan hina. Lebih anaeh lagi berbondong orang berganti nama, hanya demi alasan untuk lebih OKE. Lebih barat, lebih gaul, lebih gaya. Lebih MODERN.
 
Penyakit minder dan seluruh turunannya ialah sindrom negara berkembang yang akut. Sadar tak sadar berangsur orang takut (atau malu) melokalkan diri. Epidemi keminderan adalah jawaban lugas kenapa satu negara bisa maju, sedang di negara lain tidak.

Bagi orang muda tanpa isi kepala, paspor ke dunia gaul seolah hanya ada satu cara. Jadi umat penyembah Barat. Makan Pizza, sepatu Nike, Starbucks Coffe, MTV, musik R&B, dan semacamnya.

Eropa Barat, maupun Amerika rupanya telah jadi berhala baru bagi banyak orang muda.

Oke, kalau kita suka karena memang kita suka, ada ruang toleransi di tahap itu. Tak lantas sambil merendahkan diri, tak seraya bersifat naif menghina kelokalan kita. Itu masalah pilihan. Bila kita suka karena alasan yang kuat, terasa wajar dan sah-sah saja.

Hal menyedihkannya ialah ber-barat ria sekadar kerena latah, karena takut dibilang kuno, lokal, atau sekali lagi ndeso.

Menyenangkan sekali hidup dengan dikenal, terkenal, dan banyak, yang ingin kenal. Rasanya tiap dari kita selalu punya dorongan itu. Tulisan ini bukan dalam kapasitas mengadili, mana budaya dunia yang lebih bagus atau lebih hebat. Akan tetapi, lebih lebih pada titik tekan, betapa beracunnya takut melokalkan diri. Gebyah uyah, dengan memandang lokal itu jelek, hanya akan menyesat diri pada kebuntuan kreativitas.

Membawa ke titik kehilangan sensitifitas untuk maju, kehilangan kepekaan hidup bermasyarakat. Nah, kalau kita sudah kepekaan bermanusia, menceraikan diri dari ikatan batin dengan masyarakat, berpisah jiwa dengan kelokalan ibu pertwi kita. Lantas, apa atau siapa kita?

Ada satu ungkapan menarik, ketika orang kehilangan masa muda, maka dia hanya akan menjadi tua. Ketika orang kehilangan kerja, dia akan hanya susut harta. Ketika orang sakit, dia hanya akan hilang sejenak sehatnya. Namun tanpa karakter, seseorang niscahya kehilangan segalanya.

Hal mana aspek kelokalan rupanya begitu terpelihara di nama-nama orang barat. Seperti Bush yang presiden Amerika itu terasa begitu Texas. Bush (semak belukar: Ing) adalah bagian dari keseharian kehidupan a la Koboi Texas. Tentu akhirnya lebih mudah bagi kita memahami karakter bengalnya. Seperti yang dipertontonkannya saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Begitu kontrasnya dengan kepala negara kita ketika menjemputnya. Di mana gaya presiden kita begitu sangat timur, sangat andap asor khas jawa. Mriyayeni. Bush meloncat begitu saja dari pintu mobil, tepat di hadapan presiden kita.

Tetapi hal positif yang kita bisa liat dari Bush adalah kebanggaannya dengan daerahnya. Atau setidak-tidaknya, dengan melihat namanya, kita bisa membayangkan kira-kira zaman koboi di Amerika dulu itu seperti apa. Bush sangat PD dengan kelokalannya. Lalu, tidakkah kita idealnya serupa? Ya, maka mari dengan sepenuh jiwa, kita serukan bangga.. Yes, gue Indonesia![]

n.b. Lihat Pinus&Pinus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar