Senin, 26 Maret 2012

Ruang Lingkup dan Kegunaan Kajian Sosiologi Hukum: Sebuah Ancang-Ancang


Ruang Lingkup
Dalam khazanah keilmuan, sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum.[1]
Soetandyo Wignjosoebroto menerangkan bahwa sosiologi hukum tidak akan mengkaji ihwal isi substantif aturan-aturan hukum perundang-undangan nasional berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Prosedur-prosedur implementatif dan tata cara aplikatif hukum perundang-undangan tersebut pun juga bukan merupakan ranah kajian sosiologi hukum.[2]
Pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perilaku dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.[3]
Sampai pada titik ini, maka dapatlah diajukan pertanyaan: kenapa perspektif sosiologi diperlukan dalam kajian hukum? Satu kesimpulan yang ditarik Seinzheimer kiranya dapat membuka pintu masuk untuk menjawab pertanyaan tersebut, bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa namun berada dalam tatanan tertentu yang dipenuhi manusia. Interaksi sosial antara manusia yang kemudian membentuk sebuah masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari hukum. Oleh karena itu, apabila berbicara tentang perilaku sosial, maka akan selaku berhubungan dengan hukum yang berlaku.
Sosiologi hukum memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat (law as a social control). Hukum dikaitkan dalam upaya-upaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu otoritas kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib dalam interaksi sosialnya.
Untuk dapat melihat permasalahan dengan baik, Satjipto Rahardjo membagi pembicaraan mengenai teori sosiologi hukum sesuai dengan tiga tingkat kejadian, yaitu: makro, meso, dan mikro.[4]
1.      Tingkat makro membicarakan tentang hubungan interaksi dan kaitannya antara dua satuan besar, yaitu masyarakat dan hukum. Pembadanan pada tingkat ini berupa lembaga-lembaga seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang menyiapkan suatu struktur tertentu sehingga hukum dapat dijalankan;
2.      Tingkat meso menyangkut kelembagaan hukum atau interaksi antara lembaga-lembaga tersebut;
3.      Tingkat mikro adalah tentang perilaku substansi dari orang-orang yang berhubungan dengan hukum.
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa sosiologi hukum memperhatikan konteks perilaku sosial dari hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya, yaitu masyarakat.[5] Sehingga kinerja hukum tidak hanya dipandang berdasar peraturan perundang-undangan saja tetapi berdasarkan kompleksitas interasksi manusia di dalam bermasyarakat. 

Kegunaan
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[6]
Pada perspektif ketiga di atas inilah hukum mendapatkan roh dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkretnya. Sehingga besar harapan hukum mampu menciptakan tertib sosial dalam tata perilaku interaksi manusia dalam bermasyarakat.
Hukum berdasarkan cara pandang ketiga tersebut yang menjadi objek kajian dalam sosiologi hukum. Sekali lagi, hukum tidak dapat dilepaskan dari basis sosialnya. Pada kerangka pemikiran ini, Brian Tamaha mencetuskan teori cermin, bahwa hukum adalah cerminan dari masyarakat.[8]
Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Pada tataran tertentu sosiologi hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Secara umum, Soerjono Soekanto memberikan deskripsi mengenai kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya, adalah sebagai berikut:[9]
a)      Memberikan kemampuan-kemampuanbagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b)      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, da sarana untuk mngatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu;
c)      Memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mangadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan umum tersebut, secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:[11]
1.      Pada taraf organisasi dalam masyarakat:
-          Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan, dan penegakan hukum.
-          Dapat diidentifikasikan unsur-unsur budaya manakah yang mempengaruhi isu atau substansi hukum.
-          Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2.      Pada taraf golongan dalam masyarakat:
-          Pengungkapan dari gologan-golongan manakah yang sangat menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum.
-          Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malah dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
-          Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3.      Pada taraf individu:
-          Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perilaku masyarakat.
-          Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melakukan fungsinya.
-          Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak, maupun perilaku yang teratur.[]


[1] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 4.
[3] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.
[5] Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 2
[7] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 6.
[8] Materi kuliah Sosiologi Hukum
[9] Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 26
[11] Loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar