Ruang Lingkup
Dalam khazanah keilmuan, sosiologi hukum adalah salah satu cabang
kajian sosiologi. Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai
bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan
ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek)
yang semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga
yang tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah
sosiologi dari atau tentang hukum.[1]
Soetandyo Wignjosoebroto menerangkan bahwa sosiologi hukum tidak
akan mengkaji ihwal isi substantif aturan-aturan hukum perundang-undangan
nasional berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Prosedur-prosedur
implementatif dan tata cara aplikatif hukum perundang-undangan tersebut pun
juga bukan merupakan ranah kajian sosiologi hukum.[2]
Pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perilaku
dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari
masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum
merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa
manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut
serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.[3]
Sampai pada titik ini, maka dapatlah diajukan pertanyaan: kenapa
perspektif sosiologi diperlukan dalam kajian hukum? Satu kesimpulan yang
ditarik Seinzheimer kiranya dapat membuka pintu masuk untuk menjawab pertanyaan
tersebut, bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa namun berada dalam tatanan
tertentu yang dipenuhi manusia. Interaksi sosial antara manusia yang kemudian
membentuk sebuah masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari hukum. Oleh karena
itu, apabila berbicara tentang perilaku sosial, maka akan selaku berhubungan
dengan hukum yang berlaku.
Sosiologi hukum memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat
(law as a social control). Hukum
dikaitkan dalam upaya-upaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi
kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu otoritas
kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia selalu berada dalam
keadaan yang relatif tertib dalam interaksi sosialnya.
Untuk dapat melihat permasalahan dengan baik, Satjipto Rahardjo
membagi pembicaraan mengenai teori sosiologi hukum sesuai dengan tiga tingkat
kejadian, yaitu: makro, meso, dan mikro.[4]
1. Tingkat
makro membicarakan tentang hubungan interaksi dan kaitannya antara dua satuan
besar, yaitu masyarakat dan hukum. Pembadanan pada tingkat ini berupa
lembaga-lembaga seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang
menyiapkan suatu struktur tertentu sehingga hukum dapat dijalankan;
2. Tingkat
meso menyangkut kelembagaan hukum atau interaksi antara lembaga-lembaga
tersebut;
3. Tingkat
mikro adalah tentang perilaku substansi dari orang-orang yang berhubungan
dengan hukum.
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa sosiologi hukum memperhatikan
konteks perilaku sosial dari hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari basis
sosialnya, yaitu masyarakat.[5] Sehingga
kinerja hukum tidak hanya dipandang berdasar peraturan perundang-undangan saja
tetapi berdasarkan kompleksitas interasksi manusia di dalam bermasyarakat.
Kegunaan
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga perpektif mengenai pemahaman tentang
hakikat dari hukum. Pertama, hukum
dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang abstrak; perhatian terpusat
pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, sehingga tidak
menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai tertentu atau apakah hukum
dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu. Ketiga, hukum dipandang sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[6]
Pada perspektif ketiga di atas inilah hukum mendapatkan roh dalam usaha
manusia untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkretnya. Sehingga besar harapan hukum mampu menciptakan tertib sosial
dalam tata perilaku interaksi manusia dalam bermasyarakat.
Hukum berdasarkan cara pandang ketiga tersebut yang menjadi objek
kajian dalam sosiologi hukum. Sekali lagi, hukum tidak dapat dilepaskan dari basis
sosialnya.
Pada kerangka pemikiran ini, Brian Tamaha mencetuskan teori cermin, bahwa hukum
adalah cerminan dari masyarakat.[8]
Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa manusia patuh pada hukum
dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial
lain yang mempengaruhinya. Pada
tataran tertentu sosiologi hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Secara umum, Soerjono Soekanto memberikan deskripsi mengenai kegunaan
sosiologi hukum di dalam kenyataannya, adalah sebagai berikut:[9]
a) Memberikan
kemampuan-kemampuanbagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial;
b) Penguasaan
konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk
menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, da sarana untuk mngatur
interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu;
c) Memberikan
kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mangadakan evaluasi terhadap
efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan umum tersebut, secara
terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:[11]
1. Pada
taraf organisasi dalam masyarakat:
-
Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan
falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan, dan penegakan hukum.
-
Dapat diidentifikasikan unsur-unsur budaya
manakah yang mempengaruhi isu atau substansi hukum.
-
Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh
di dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2. Pada
taraf golongan dalam masyarakat:
-
Pengungkapan dari gologan-golongan manakah yang
sangat menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum.
-
Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat
yang beruntung atau sebaliknya malah dirugikan dengan adanya hukum-hukum
tertentu.
-
Kesadaran hukum daripada golongan-golongan
tertentu dalam masyarakat.
3. Pada
taraf individu:
-
Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang
dapat mengubah perilaku masyarakat.
-
Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari
para penegak hukum dalam melakukan fungsinya.
-
Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum,
baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak,
maupun perilaku yang teratur.[]
[1]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum:
Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.
[2]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam
Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008),
hlm. 4.
[3]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.
[5]
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 2
[7]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 6.
[8]
Materi kuliah Sosiologi Hukum
[9]
Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 26
[11] Loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar